KITA YANG BELUM SELESAI

Ivara
Chapter #1

MUSIM UGUR DIBULAN MEI

Luka yang dulu basah, kini mulai mengering. Setahun lalu, Miko merasakan pahitnya perpisahan. Malam demi malam ia hanya ditemani kenangan yang menempel seperti bayangan. Ia tidak melupa, juga tidak membenci. Hanya sadar: hidup tidak pernah menunggu siapa pun. Sembuh bukan pilihan, melainkan keharusan. Dan Miko memilih jalan yang sulit—berdamai dengan luka. Kemudian datang pertanyaan yang tak bisa ia jawab, dari seorang ibu yang ia sayangi.

“Ibu lihat kamu jarang main sama cewekmu. Kenapa? Lagi berantem?” suara ibunya lembut, sambil menyodorkan segelas kopi hangat.

“Hmm, nggak bu. Lagi sama-sama sibuk aja,” Miko terkekeh, mencoba menutupinya.

Ibunya menghela napas tipis, lalu menatap Miko dengan tatapan yang tahu lebih banyak dari kata-kata.

“Yang namanya hubungan wajar kalau ada berantem. Yang penting bisa kembali berdamai. Atau jangan-jangan… Putus?”

Miko terdiam. Matanya menatap jauh, menghindari sorot mata ibunya. Diamnya justru menjawab.

Kini, mengingat masa lalu tak lagi menyesakkan. Bintang yang sama, kopi yang sama, rokok yang sama, tetapi rasa berbeda. Jika dulu segalanya terasa perih, sekarang ada sedikit tenang. Kata sembuh baginya bukan berarti lupa, melainkan berani berjalan dengan bekas luka yang tetap ada.

Hidup tak pernah sederhana untuk Miko. Ia bekerja tanpa henti, bergantung pada layar laptop dan ponsel. Lelah sering datang, tapi kepalanya lebih keras daripada tubuhnya. Baginya, dunia selalu mempertanyakan kelayakan, dan satu-satunya jawaban adalah membuktikan diri. Tabungan yang sedikit, barang yang ia beli sendiri, hidup mandiri—itulah caranya menunjukkan bahwa ia mampu.

“Miko… kalau mau makan, lauknya di meja ya. Sudah ibu hangatkan. Jangan telat makan. Rokoknya juga kurangin, ingat lambungmu. Ibu mau pergi dulu.” teriak ibunya dari ruang tamu.

Miko hanya bergumam singkat, matanya tak lepas dari layar. Pekerjaan yang membuatnya lama di dalam kamar, ternyata menyimpan suntuk yang menggunung. Hingga ia pun berniat ke perpustakaan, melepas lelah sambil mencari ide untuk novel barunya.

“Ibu belum berangkat?” tanya Miko yang sudah rapih bersiap untuk pergi.

“Belum, lagi cari tasbih ibu. Perasaan ibu taruh disini semalam,” gumam ibunya.

“Yaudah aku pergi dulu ya, bu.”

“Lho mau kemana kamu, rapih bangat. pacaran ya?”

“Nggak bu, mau ke perpustakaan. Lagi pengen baca buku,”

“Yaudah hati-hati,”

“Ya. Assalamu’alaikum,” ucap Miko sambil menyalami ibunya.

Miko menyalakan motor adiknya. Angin sore menyapu wajah, membawa sisa panas kota yang perlahan mereda. Jalanan ramai, tapi pikirannya terasa kosong. Lampu merah memaksanya berhenti sejenak—ia menatap kerumunan, tapi di matanya hanya ada bayangan masa lalu. Sesekali ia menghela napas panjang, seakan ingin membuang beban bersama debu jalanan.

Perjalanan itu terasa panjang, meski hanya sebentar. Ada sesuatu yang membuat dadanya sesak tanpa sebab.

Di depan perpustakaan, Miko memarkir motor dan melepas helmnya. Langit tampak lebih teduh dari biasanya, seolah ikut menawarkan tenang yang ia cari. Saat melangkah masuk, aroma buku dan kayu tua langsung menyambut. Ia selalu menyukai tempat ini—sunyi, tapi tidak pernah sepi.

Rak demi rak ia lewati. Jari-jarinya berhenti di sebuah sampul buku yang asing, dengan judul yang membuatnya terdiam. “Kita yang Belum Selesai,” tertulis di sana. Nama penulisnya tak dikenalnya, tapi judul itu terasa terlalu akrab. Seperti bisikan yang sengaja menertawakan dirinya.

Ia menarik kursi di sudut ruangan dan membuka halaman pertama. Baru dua lembar ia baca, tiba-tiba sebuah bayangan jatuh di meja. Segelas kopi diletakkan pelan. Aroma pahit-manisnya menusuk hidung, terlalu familiar untuk diabaikan.

“Masih suka americano ice, kan?”

Lihat selengkapnya