"Ibu, kenapa menanyakan itu? Ibu tahu meski jarang di rumah, ayah pasti marah besar kalau tahu aku pacaran. Lagian aku belum memikirkan soal itu," jawab Icha. Ia tidak habis pikir mengapa kini ibunya juga seperti teman-temannya.
"Kau ini sudah beranjak dewasa, Icha. Sudah kuliah, tapi bahkan tidak pernah ibu melihatmu dekat dengan anak lelaki secara khusus. Bahkan waktu remaja, saat itu adalah masa cinta monyet, tapi kamu juga melewatkannya."
Icha hanya diam mendengar penuturan ibunya.
"Apa kamu hanya mencintai tokoh-tokoh fiksi di novel kegemaranmu itu? Mungkin ada masalah hingga kamu tidak bisa membedakan bahwa itu hanya cerita rekaan," ucap bu Ningsih lagi.
"Ibu!" seru Icha sambil memasang wajah cemberut.
"Tenanglah, aku masih waras. Aku tentu tahu kalau itu hanya fiksi. Hanya saja aku masih suka sendiri. Aku lebih suka hidup bebas seperti ini," ucapnya sambil merentangkan tangan dan berputar-putar dalam ruangan.
***
Hari selanjutnya, bu Ningsih mendapat undangan pertemuan skbar di sebuah stadion. Ini semacam konser, tetapi diadakan pihak gereja. Bu Ningsih yang beragama protestan tentu ingin menghadiri. Ia lalu mengajak dua putrinya. Akan tetapi, Asni memberikan banyak alasan untuk menolak.
Bu Ningsih mendesah putus asa. Susah-payah ia membujuk sang suami yang ketat untuk bisa diijinkan pergi, kini anaknya justru menolak pergi. Beliau belum mengajak Icha, tetapi ia tahu persis Icha membenci keramaian. Jika Asni tidak pergi, maka Icha juga pasti akan menolak.
Meski berkeyakinan seperti itu, Bu Ningsih tetap saja menghampiri kamar Icha. Saat masuk, ia melihat putrinya itu tengah telentang sambil menyenandungkan lagu dari kaset yang tengah diputar di tape recorder.
Bu Ningsih segera menceritakan soal undangan yang didapatnya. Seperti yang dia duga sebelumnya, Icha menolak. Akan tetapi, saat gadis itu melihat kesedihan sang ibu, Icha akhirnya setuju.
***
Hari acarapun tiba. Karena dijadwalkan agak malam, semenjak sore, Icha sudah didandani cantik oleh sang ibu. Rambut hitamnya yang panjang terurai dihias dengan jepit rambut mungil. Gaun putih bunga-bunga merah muda tampak mengembang indah dan pas di tubuh. Polesan tipis make up juga menghias wajah yang biasa polos tanpa polesan tersebut.
"Ini hanya acara gereja. Untuk apa berdandan berlebihan seperti itu?" tegur Pak Badu yang hari itu pulang sore dari kantornya.
"Mau cari pacar kali," sahut Asni yang tengah menonton televisi asal. Pak Badu melotot menatap istri dan anaknya. Untung bu Ningsih segera membujuk dan menenangkan suaminya itu.
***
Sewaktu tiba di stadion tempat acara, ternyata sudah ramai dan penuh orang. Untung Icha dan ibunya masih mendapat tempat duduk. Orang-orang di sekeliling menyambut ramah mereka. Tidak lama kemudian, acara segera dimulai.