“Tidak ada satu pun luka hati yang akan sembuh.
Tergantung siapa yang mengalami; kuat maka akan melupakan;
Lemah maka akan semakin tumbuh.”
Tetesan kecil air hujan dari genting depan jendela kamar, berdenting pelan seperti alunan nada nan indah mengisi relung sore hari yang tadinya hanya hening dan sendu. Kicauan burung-burung yang tengah berterbangan dengan indah di langit, tampak bahagia menikmati keindahan akan alam yang fana ini. Alam yang sedang dituruni hujan; seperti menangis menahan beban melihat perilaku makhluk berpikir yang mengisinya, dan hangat sehangat-hangatnya saat dia mulai merasa kuat dan menerima lapang hati bahwasannya memang itulah fitrah penghidupannya.
Saat hujan mulai berhenti. Semua makhluk yang hidup di dunia fana; dunia para manusia dan segala isinya, berhenti sejenak akan segala kegiatan sandiwaranya di dunia. Ada yang berpikir seperti seorang pemikir atau seperti seorang penyair yang mencari ketenangan. Ada yang merenung; merenungi segala nasib demi nasib yang dia kira hidupnya seperti tidak ada arti. Tepat di dua pemikiran dan cara berpikir seseorang akan menikmati proses hujan di alam fana, seorang pemuda tampan, pemuda dengan gejolak masa muda yang sangat berapi-api, berada di antara dua pemikiran akan maksud atas definisi dari makna hujan di hatinya.
Berpikir dan merenung. Hujan berhenti, waktunya berpikir untuk lebih jauh, waktunya mencari sebuah inspirasi. Alam. Senja sehabis hujan sore, betapa indah dan eloknya itu. Lelaki muda, lelaki yang merasa dirinya seorang pemikir atau merasa dirinya seseorang yang kelak akan menjadi penyair ternama, penulis ternama, bergegas melangkah meninggalkan kamar yang dianggapnya surga bagi semua imajinasinya di tengah malam, namun tidak di saat cahaya matahari masih meneranggi dunia fananya ini.
Inspirasi di saat matahari yang tidak akan tampak tenggelam di sebelah barat, bisa didapatinya melalui diskusi senja di meja pojok kedai kopi kesukaannya bersama dengan teman-teman sesama penikmat kopinya. Menurutnya, kopi tidak lebih dari sebuah media penyalur kreatifitas tanpa batas, media pembuka akan sebuah pemikiran demi pemikiran yang bebas, media bercerita dan media untuk saling berbagi. Seperti itulah definisi kopi menurut lelaki muda ini.
Senja dikala hujan sore telah usai. Sebuah fenomena yang kadang kala di cari-cari sulit untuk didapatkan, dan sekarang waktu akan senja sehabis hujan sore akan segera didapatinya tepat di depan mata, yang memang, waktu itu sendiri tidak akan bisa diulang ataupun dibeli. Lelaki muda tadi segera mengajak dua orang teman se-iya dan se-kata dalam sebuah hal definisi akan setiap filosofi tentang kopi, tentang kehidupan, tetapi tidak akan segala ide-ide yang kerap muncul di pemikirannya untuk pergi bersama ke sebuah kedai kopi favoritnya.
Kopi indah; sedikit pahit, sedikit asam, dan sedikit manis. Vintage. Dibumbui dengan indah sebuah gambar menggunakan foam dari hasil pemanasan susu, yang dituangkan lalu digambarkan di atas secangkir gelas kecil dengan teknik yang biasa disebut (Latte Art); karya dari seorang kaum seni dan filosofi yang hebat. Macciato sebutannya, sungguh luar biasa, seketika pemikiran itu terbuka jernih, segala pemikiran demi pemikiran yang sulit dijabarkan mengalir indah, selaras antara otak, hati dan perasaan.
Otak dan hati. Hati; bicara tentang hati, bicara sebuah kekonyolan, bicara sebuah arti pembodohan. Hati dilambangkan dengan kasih sayang dan cinta. Definisi hati menurut seorang lelaki yang sedang menyeruput kopi tadi tetaplah akan seperti itu, tidak lebih dan tidak kurang, atau tidak kurang dan tidak akan berlebih. Lelaki muda yang memiliki aura ketampanan, namun tidak begitu luar biasa seperti laki-laki tampan lainnya yang bertebaran di luar sana. Seseorang yang tidak mudah bicara tentang cinta, ia bernama: Erlang. Erlangga Rotto. Tidak Indonesia tulen, memiliki darah Italia keturunan dari kakeknya. Saat ini ia tengah berkuliah pada salah satu satu jurusan yang tidak sesuai dengan pemikirannya, dan berencana berpindah haluan di saat musim perkuliahan selanjutnya dibuka. Baginya bicara hati; hati di dalam tubuhnya, di dalam penghidupannya, telah melebur berkeping-keping dan disetiap kepingan itu telah membeku hingga tidak ada rasanya akan perasaan cinta dan kasih itu.
Namun akan kenamunan yang selalu dipikirkannya. Apa salahnya ia sebagai umat manusia biasa yang tidak berdaya, juga memiliki sebuah cinta, sebuah arti menemukan dan mempertahankan kasih sayang, saling mengasihi dan berkasih-kasih selayaknya kaula muda-mudi yang menyebar bagai benih-benih kehidupan di luaran sana. Pemikiran itu sangat mengganggu otak yang dirangkainya seindah mungkin dengan imajinasi-imajinasi kecil, di saat kopi Macciato yang cukup ia sukai itu telah habis. Ia termenung dalam beberapa saat, melihat ke arah jalan dari tempat ia tengah duduk santai bersama dua orang temannya, kedua temannya yang tengah asik bersenda gurau, membicarakan tentang kekasih hatinya, kekasih yang dianggapnya sehidup-semati apabila mereka berdua akan menemukan pemberdayaan akan sebuah pemikiran yang baru dan turun ke hati, sehidup-semati itu akan berpindah ke hati yang lain dan terus berotasi seperti itu. Hingga ia rasa yang berbentuk nyata itu sendiri adalah nafsu sesaat dari dunia yang fana terhadap pemikiran orang-orang yang berkasih-kasih, terlatih dan pada akhirnya tertatih.
Ia memandangi langit senja yang kosong. Tidak ada tanda-tanda akan timbulnya sebuah pemandangan matahari bersiluet merah jambu yang condong ke bawah di arah barat yang lebih dikenal dengan sebutan Sunset itu di zaman ini, tetapi tanda-tanda hujan akan kembali turun sudah tampak jelas di depan matanya. Tetesan-tetesan kecil hujan kembali membasahi jalanan, dia terus memandangi langit yang tampak muram kembali.