Kita yang Dipaksa Mati Berkali-kali

Adel Yuhendra
Chapter #2

Pertemuan

“Kuyakini dengan hati yang berbentuk jantung ini.

Semenjak pertemuan itu, engkaulah penyemangat setiap lentikan jari-jemariku dalam menulis cerita tentangmu.”

Waktu mengizinkan. Semuanya seperti telah di susun dengan baik oleh waktu itu sendiri.

“Besok malam kamu bisa temenin aku?”

Sepenggal kalimat itu terus tergiang-giang di dalam pikirannya. Nafsu hati yang tidak sabar untuk bertemu dengan sosok perempuan yang mulai dirasainya sudah menaruh perasaan kepadanya, walaupun balik kepada dirinya sendiri, semua masih belum, masih kosong, dan belum benar-benar terisi. Perasaan hati yang masih saja seperti ingin bermain-main, yang memang hal seperti ini, permainan seperti ini, sudah lama tidak dirasainya, sudah lama tidak ternikmati olehnya, hanya itu yang membuat hatinya memberikan sinyal respon agresif kepada pemikirannya untuk segera bertemu dengan perempuan yang belum jelas duduk-tegaknya. Semua tawa dan senyum yang terpancar sendiri dari wajah lugunya, tak lebih dari suasana hatinya yang memang sudah terlalu menikmati alur cerita yang telah di susun oleh waktu.

               Pagi terlalu sering tidak bertemu dengannya, dan ia sendiri sudah lama tidak tersenyum atau sekedar menyapa mentari. Ketika matahari mulai terbit, orang-orang akan melebur di muka bumi untuk melakukan segala kegiatan positif atau pekerjaan. Sedangkan ia baru berdoa dan baru akan mulai mencoba untuk tertidur. Tidak apa-apa, karena seorang pemikir hebat akan menjabarkan semua ide-idenya di kala tengah malam dan akan bermimpi serta berimajinasi di saat matahari akan beranjak terbit. Motivasi dari kata-kata sepeti itu yang terus ditanamkan atau di doktrinkannya ke dalam hati dan pikirannya. Terkadang, baru ketika matahari sejajar dengan kepala, saat itulah waktu untuk ia terbangun dari segala lelah dan sandiwara yang diberikan dunia setiap harinya. Hari ini adalah hari ini, hari kemarin tetaplah seperti itu, waktu telah menuliskannya, dan waktu akan memberikan catatan baru, judul baru, konsep baru, tema baru, alur baru, dengan penceritaan yang berbeda. Segalanya harus dikerjakan dan segalanya harus diminimalkan tanpa harus mengurangi kadar maksimalnya.

Cerita hari ini akan di tulis dan dicernanya di dalam pemikirannya. Meskipun harapan, terkadang ada kalanya tidak sesuai dengan ekspetasi yang diinginkan, tetapi selagi doa dan doa yang terus mengiringi, keyakinannya terhadap hati dirasai tetap akan memberikannya yang terbaik dalam tiap hari-harinya. Hidupnya tidak melulu terus di bayang-bayangi oleh sang waktu. Di saat baru terbangun, hal pertama yang wajib dilakukannya adalah dengan menyetel musik dari band-band indie Indonesia kesukaannya, bersungut-sungut dahulu, berimajinasi dahulu, baru sampai sekiranya telah cukup, beranjaklah ia perlahan dari tempat tidurnya.

Dimulai dengan mendinginkan sepiring nasi, menikmati suasana siang di depan teras rumah, makan, ngerokok, bermain game secukupnya seandainya tidak dalam keadaan ada jadwal perkuliahan, dan barulah diakhiri dengan membersihkan badan di kamar mandi. Terkesan klise, malas, tetapi sangat menyenangkan. Memang seperi itulah waktu memberikan catatan alur cerita kepadanya, karena itu sendiri baru awalan bukan akhiran. Ibarat buku. Sebuah prolog; tahap pembuka dan pemanis dari sebuah keseluruhan cerita, barulah si pengarang memperlihatkan epilog; dalam mengakhiri sebuah cerita dengan inti-inti terbaik dari cerita yang dibuatnya. Dan seperti itulah kehidupannya. Di siang hari hanya sebuah pemanis, awalan cerita untuk alur cerita yang akan di jalaninya, sore, malam, hingga tengah malam kembali menyapa, barulah segala kegiatan positif yang dilakukan akan menampakkan sedikit demi sedikit hasilnya, hasil dalam memasuki fase epilog.

 

 

***

 

 

               Waktu itu datang. Sinar senja mulai meredup, mentari berbalik pergi, semua upaya untuk tampil semaksimal mungkin terus dilakukannya, memang karena ini adalah pertemuan pertama dan sebuah pertemuan yang akan menentukan jalan cerita cinta-cintaannya untuk tahap selanjutnya dengan perempuan ini.

Nada tanda pesan masuk bergetar dan berdering kecil di saku celana sebelah kanan Erlang.

“Gimana, bisa Lang? Kamu gak lagi sibuk kan sekarang?”

               Pesan yang singkat, namun memperjelas tujuan dan inti dari maksud perempuan yang bernama; Mahesa Ayu Hearty, bahwasan dia juga menginginkan untuk segera bertemu dengannya.

               “Gak, Sa. Bisa kok, bisa... ini lagi di jalan.” Balasnya sedikit gemetar.

               “Hahh? Emang kamu tahu lokasi kos aku?”

“Aman…”

“Oke… aku tunggu ya.”

               Tidak perlu baginya share lokasi-lokasian. Dari omongan temannya yang sudah lebih dulu memberitahu di mana kos Mahesa berada, sudah lebih dari cukup baginya untuk dapat mencerna seluk-beluk jalanan kota kelahirannya ini. Tidak perlu bagi waktu untuk memberi sebuah permainan kecil kepadanya. Sebuah pesan singkat akan menuju tidak beberapa lama lagi di telepon genggam perempuan yang bernama panggilan: Mahesa itu. Detik, menit, dan tidak sampai puluhan menit menunggu sebuah pemberitahuan pesan masuk, pesan balasan tertuju kembali kepadanya.

Tidak beberapa lama, pesan itu bergetar kecil kembali digenggaman tangannya, diiringi dengan seorang perempuan anggun, menawan, perempuan yang dianggapnya akan menjadi seorang perempuan perubah situasi dosanya saat ini, perempuan yang kala malam itu mengenakan stylean sweater rajut bewarna merah maron, celana panjang berbahan katun dengan corak warna hitam legam, rambut yang dibiarkan tergerai lurus seleher dengan belahan poni nan manis, tas kecil berwarna abu-abu, dan sepatu berhak tipis, santai, tidak ada yang terlalu mencolok, tidak ada yang terlalu ingin ditonjolkan, tetapi sangat casual, campuran akan gaya feminim dan tomboy.

Lihat selengkapnya