“Didasari oleh kecintaan hamba tentang perilaku sebagai istri,
Supaya tidak terpisah bertemu asmara itu yang hamba harapkan,
Apabila diperbolehkan seperti itu dan mendapat ijin dari pendeta,
Ijinkanlah supaya bertemu pada suami hamba disaat penjelmaan nanti….”
Terdengar suara lantunan bait-bait syair kidung terbawa angin laut di sore hari itu. Suara itu kadang terdengar sangat dekat, kadang menjauh dari salah satu pinggiran pantai utara pulau jawa di daerah Lasem.
Beberapa orang yang kebetulan ada di pinggiran pantai, yang kebanyakan nelayan, saling berpandang-pandangan ketika mendengar suara itu. Mereka sering kali mendengar syair-syair kidung yang dibawakan oleh suara itu. Suara seorang perempuan. Mereka sangat akrab dengan suara itu. Bahkan mereka tahu siapa pemilik suara itu.
Suara itu tidak mungkin keluar dari suara seorang perempuan biasa. Karena suara itu dapat mengatasi bisingnya deburan ombak dan angin laut. Suara dari seorang yang memiliki tenaga dalam yang tinggi.
Dan jika yang mendengar kidung itu tahu akan sastra, tentu akan kaget. Kidung itu berasal dari Kitab Smaradhana. Sebuah kitab sastra kuno yang ditulis oleh Mpu Dharmaja. Salah satu ahli sastra yang tersohor di tanah Jawa.
Suara pelantun syair-syair kidung itu adalah seorang perempuan setengah baya yang berusia lima puluh tahunan. Dia adalah penduduk Lasem juga. Orang sekitar biasa memanggil dengan sebutan Nyi Larasati. Seorang perempuan kaya yang memiliki banyak perahu. Ada beberapa nelayan yang menyewa perahu dari Nyi Larasati.
Nyi Larasati tinggal dengan seorang anak perempuannya yang bernama Lindri. Mereka ditemani oleh keempat orang pembantunya yang juga perempuan semua.
Lindri berusia enam belas tahun sekarang. Suami Nyi Larasati sudah lama tewas dalam pertempuran ketika Singosari berperang melawan Kediri. Suami Nyi Larasati yang bernama Linggar adalah seorang perwira tinggi Kerajaan Singosari. Usia Lindri ketika Linggar meninggal sekitar dua tahunan.
Linggar adalah adik kandung dari Ki Badra si Harimau Besi.
Nyi Larasati seorang perempuan yang cantik. Kulitnya putih. Rambutnya hitam panjang terurai. Kebaya hitamnya mempertontonkan lekuk tubuh yang membuat mata para lelaki tidak berkedip. Tetapi mereka hanya bisa mencuri pandang. Karena tidak ada yang berani menatap langsung tubuh indah Nyi Larasati. Ada sesuatu pada diri Nyi Larasati yang membuat mereka tidak berani berbuat senonoh. Walaupun itu hanya memandang.
Dia biasa berjalan-jalan di sekitar pantai utara Lasem setiap sore tiba. Menikmati matahari tenggelam di ufuk Barat. Kipas kayu tidak ketinggalan di tangannya. Kipas itu terlihat seperti kipas biasa bagi para penduduk di sekitar situ. Tidak ada yang istimewa. Tetapi mereka keliru.
Bagi para penjahat di dunia persilatan yang sudah pernah bertemu dengan Nyi Larasati, mereka akan bergidik melihat kipas itu. Kipas itu bukan hanya sebagai kipas untuk menyegarkan tubuh di cuaca panas. Lebih dari itu.
Kipas itu adalah senjata yang sangat ampuh dan mematikan. Sudah banyak para penjahat yang biasa melakukan operasi di daerah Lasem merasakan kehebatannya. Di kalangan penjahat di dunia persilatan, Nyi Larasati dijuluki Dewi Kipas Maut. Dan dia adalah salah satu dari Empat Datuk Persilatan.
Sore itu , seperti sore-sore sebelumnya dia berjalan-jalan seorang diri di pantai. Sambil mendendangkan beberapa syair kidung seperti biasanya.