Di depan rumah Nyi Larasati tampak seorang gadis cantik sedang asyik duduk sambil membaca. Beberapa kitab berserakan di meja.
Rumah itu cukup besar dan bagus, bahkan bisa dikatakan mewah, dibanding dengan rumah-rumah di sekitar.
Bercat putih dengan aksen Jawa yang kental serta hiasan tulisan jawa di atas pintu membuat rumah itu tampak berwibawa. Tulisan itu berbunyi: ”Memayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara”
Artinya kurang lebih: ”Manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara murka,dan serakah.”
“Lindri, lihat siapa yang bersama ibu!” Terdengar suara dari gerbang depan.
Tanpa meletakkan kitab yang sedang dibacanya, gadis cantik itu melihat ke arah gerbang. Setelah menatap penuh selidik, akhirnya dia mengenali gadis muda yang datang bersama ibunya itu.
“Kamala! Aih, sepupu, senang sekali melihatmu lagi,” seru gadis cantik itu yang ternyata adalah Lindri, anak dari Nyi Larasati.
Kamala dan Lindri kemudian berangkulan dengan sangat gembira. Mereka sampai tidak peduli dengan orang-orang sekitarnya.
Kalau orang melihat Kamala dan Lindri, keduanya memiliki wajah yang mirip satu dengan yang lainnya. Hanya berbeda bentuk rambut saja. Kalau kamala rambutnya dibiarkan terurai, sedangkan Lindri mengikat rambutnya dengan pita berwarna biru.
Sikap mereka pun jauh berbeda. Bagai bumi dan langit. Kamala nakal, ceria, dan murah senyum. Sedangkan Lindri pendiam, tidak banyak cakap, dan pemalu.
“Sudah, sudah. Biarkan Kamala dan teman-temannya mandi dan beristirahat dulu. Tuh, lihat! Mereka sudah kegerahan ingin membersihkan diri,” ucap Nyi Larasati.