Dusun Gading terletak di pinggiran sungai Brantas. Dusun itu cukup ramai. Banyak pendatang yang singgah disana.
Siang itu tidak terlalu panas. Desir angin mengusir kegerahan daerah sekitar. Walaupun hujan belum lagi turun. Kemarau masih belum ada tanda-tanda berakhir.
Tampak seorang lelaki dengan pakaian perlente memasuki rumah makan yang cukup ramai. Pakaiannya bermotif bunga warna warni.
Rambut panjangnya diikat. Rambut itu terlihat klimis memakai minyak. Wajahnya berbedak tipis, dengan gincu tipis pula. Seorang lelaki pesolek. Sorot matanya terlihat seperti meremehkan.
Usianya sudah tidak muda lagi. Tetapi karena dandanan dan juga pakaiannya, ia tampak terlihat lebih muda dari umurnya.
Umurnya sudah hampir enam puluh tahunan.
Dia adalah Pendekar Seribu Bunga! Salah satu dari Empat Datuk Persilatan. Nama aslinya adalah Kayana. Dan dia kakak dari Kanishta, istri dari Ki Badra. Ibunya Kamala.
Rumah makan itu ramai pengunjung. Kursi-kursi hampir tidak ada yang kosong. Meja-meja penuh sesak dengan makanan dan minuman.
“Silahkan masuk, Tuan,” sambut seorang pelayan ketika melihat Kayana memasuki rumah makan.
“Itu di pojok kiri masih ada kursi dan meja yang kosong,” kata seorang pelayan lagi.
Kayana pun melangkah menuju meja kosong itu sambil matanya mengawasi siapa saja yang ada disitu.
Di satu meja tampak enam orang sedang makan minum sambil berbincang. Kebetulan meja itu dekat dengan meja yang sedang dia tuju.
“Silahkan duduk, Tuan,” kata seorang pelayan lagi menyilahkan Kayan duduk setelah mengelap kursi dan meja itu.
Kayana memesan makanan dan minuman.
Sambil menunggu, terdengar keenam orang itu berbicara tentang sebuah kitab yang sekarang berada di benteng Lembu Ampal.
Bukan hanya itu, di Benteng Lembu Ampal juga kini berada Rangga Wuni dan Mahisa Campaka. Mereka sedang menggalang kekuatan untuk menumbangkan kekuasaan raja Tohjaya.
Dengan kitab itu orang-orang dari dunia persilatan banyak yang ikut bergabung.
Alasan pertama mereka bergabung karena penasaran dengan kesaktian kitab itu. Ingin tahu isinya.
Dan alasan kedua karena mereka yang bergabung adalah orang-orang yang kecewa terhadap kerajaan. Mereka ingin perubahan. Mungkin jika bergabung dengan Lembu Ampal dan sekutunya, perubahan akan terjadi.
Ternyata keenam orang itu adalah orang-orang dari Benteng Lembu Ampal.
Muka mereka terlihat memerah. Pengaruh arak sudah menjalari aliran-aliran darah.
“Hei, engkau temani kami minum, Nona!” seru seseorang dari mereka yang bertubuh tinggi pada seorang gadis yang kebetulan sedang makan disitu.
Gadis itu biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Pakaiannya pun sederhana. Wajahnya tidak terlalu cantik dengan kulit sawo matang.
Mendengar seruan itu, gadis itu tampak ketakutan.
“Iya, engkau kesinilah. Temani kami berenam minum arak,” sahut seorang lainnya yang bertubuh gendut.
Gadis itu makin ketakutan.
Seseorang dari keenam orang itu kemudian menghampiri gadis itu dengan langkah sempoyongan.
Mulutnya bau arak ketika berbicara di depan gadis itu.
“Hayu, engkau temani kami!” si gendut berkata sambil menarik tangan gadis itu.
Gadis itu meronta dengan ketakutan.
“Tidak mau!” jeritnya.
Orang-orang disekitar situ hanya bisa melihat saja. Tidak ada yang berani menolong. Mereka juga tampak ketakutan melihat peristiwa itu.
“Hayu! Kamu harus mau!” bentak si gendut dengan nada tinggi.
“Tidak mau! Lepaskan tanganku!” teriak gadis itu sambil menangis. Matanya tampak mengeluarkan air mata.
“Lepaskan tangan wanita itu!” teriak seseorang dari sebrang meja. Dan itu adalah suara Kayana. Si Pendekar Seribu Bunga.
Kayana menyaksikan gadis itu diganggu oleh keenam orang itu benar-benar marah. Tadi dia membiarkan dulu apa yang akan terjadi. Ketika si gadis sudah menangis, dia pun berteriak ke arah si gendut.
Tentu saja mendengar ada orang yang berani menghalangi mereka, keenam orang itu langsung marah. Terutama si gendut.
“Hei, orang aneh! Engkau kenapa ikut campur urusan kami!” bentak si gendut yang bernama Anggoro itu.
“Ikut campur??? Kalian seperti kawanan serigala yang sedang menggoda seekor kambing betina. Kalian berani hanya pada seorang wanita. Sungguh perbuatan yang sangat hina!” ucap Kayana dengan nada suara menahan kemarahan.
“Eeehhh….orang bosan hidup!”
Si Gendut melakukan gerakan menampar dengan tangan kirinya ke arah pipi kanan Kayana.
“Plaakkkk……!”
Tamparan si Gendut ditangkis oleh tangan kanan Kayana, disusul dengan gerakan tangan kanan kayana menampar balik ke arah pipi kiri si Gendut.
“Plaaakkkkk……! Aduuuuhhhh……Sialan……! Engkau mau main-main denganku ya!” si Gendut meringis kesakitan. Pipi kirinya terasa pedas terkena tamparan Kayana.
“Rasakan bogem mentahku!” Anggoro memukul dada Kayana sekuat tenaga.
“Plaaakkkkkkk…….!” Tangan yang memukul itu terkena tamparan Kayana, membuat Anggoro hilang keseimbangan.
“Braaakkkkk……!”
Tubuh gendut anggoro limbung ke pinggir dan menimpa meja di sampingnya. Meja itu langsung patah menjadi dua tertimpa tubuh Anggoro.
Orang-orang yang ada di situ langsung berhamburan keluar. Menyelamatkan diri. Termasuk gadis yang diganggu tadi.
Melihat kawannya dipermalukan Kayana, kelima orang itu langsung berbarengan menyerang Kayana.
Mereka menyerang dengan ganas dengan tangan kosong.
Dengan santai Kayana menghadapi serangan mereka. Semua serangan dia tangkis secara berbarengan, disusul Kayana menyerang balik!
“Aduuuhhhh……aiiihhh……aaahhhh……ouuuwww…..aduuuhhhh…….” teriakan kesakitan bercampur kaget terdengar dari kelima mulut mereka.