KITAB BUMI LANGIT

Ade Imam Julipar
Chapter #15

BUMI SINGOSARI

BUMI Singosari sangat subur. Dewa- Dewi sangat bermurah hati pada rakyat Singosari. Apapun yang ditanam, tumbuh dan berkembang. Saking suburnya, tongkat dan batu juga jadi tanaman.

Keadaan ini tidak serta merta membuat rakyat semuanya bahagia. Kemiskinan tetap diidap oleh sebagian besar rakyat jelata.

Kesuburan bumi Singosari hanya dinikmati oleh kaum Brahmana,Ksatria, dan Waisya saja. Sedangkan kaum Sudra – kaum yang terbanyak – hanya menjadi penonton kemakmuran, tanpa bisa menikmati. Sebuah kemewahan yang tak tersentuh oleh tangan-tangan kasar mereka.

Ada beberapa golongan yang tidak puas dengan penghidupan mereka dan juga kenyataan sosial seperti itu.

Hal ini mendorong terjadinya pemberontakan-pemberontakan kecil.

Ini terjadi juga pada masa pemerintahan raja Tohjaya.

Beberapa pemberontakan kecil berhasil ditumpas oleh pasukan kerajaan Singosari.

Sisa-sisa pemberontak ini kemudian bergabung untuk membentuk barisan sakit hati. Setelah cukup kuat, mereka pun bergabung dengan Rangga Wuni!

***

Orang itu berpakaian penuh tambalan. Beberapa bagian pakaiannya ada yang robek. Pakaiannya seperti pakaian pengemis.

Wajahnya tertutup caping. Sehingga tidak jelas raut mukanya. Tangan kanannya memegang sebuah tongkat kayu.

Badannya tinggi kurus. Sepertinya badan itu akan terbawa angin jika ada angin besar. Saking kurusnya.

Pengemis itu berjalan santai menuju gerbang Kotaraja.

Tiba-tiba dari arah gerbang tampak rombongan berkuda keluar Kotaraja.

“Minggir….minggir…..minggir……!” teriak penunggang kuda yang paling depan dari atas kuda.

Dia memacu kudanya dengan cepat. Disusul oleh penunggang kuda di belakangnya. Mereka berjumlah empat orang.

Orang-orang yang kebetulan berjalan disitu terpaksa minggir ke pinggir jalan. Takut terkena kuda yang sedang melaju kencang.

Juga pengemis itu. Dia ikut menyelamatkan diri. Minggir ke sisi jalan.

Tetapi sialnya seekor kuda menabraknya!

“Dukkkk……..!”

Penunggang kuda yang menabraknya terpelanting. Jatuh dari kudanya! Bukan si pengemis itu.

Tentu saja ini membuat heran orang yang melihatnya.

“Hei! Siapa engkau! Kenapa menghalangi jalan kami! Tidak tahu engkau berhadapan dengan siapa!?” teriak penunggang kuda lainnya.

Melihat ribut-ribut di belakang, penunggang kuda lainnya terpaksa tidak melanjutkan perjalanan. Berbalik arah. Mengepung pengemis itu.

“Aku bukan siapa-siapa. Lagipula bukan aku yang menabrak. Tapi kuda itu yang menabrak,” jawab si pengemis dengan suara santai.

Seseorang dari penunggang kuda itu mendorong pengemis itu.

“Huuuppp…..” dorongannya tertahan. Tubuh pengemis itu tidak bergeming. Kokoh seperti sebatang pohon!

Dengan rasa penasaran penunggang kuda yang bernama Tantra itu turun dari punggung kudanya.

Lihat selengkapnya