Sungai Brantas pagi itu. Dasarnya terlihat hampir seperempat lebar sungai. Musim hujan belum lagi datang. Limpahan air tidak terlalu banyak di badan sungai. Nyaris kering.
Kondisi ini berbanding terbalik jika musim penghujan tiba. Sungai yang berhulu di gunung Arjuno ini mengalir berkelok-kelok bagai bada seekor naga dalam cerita-cerita klasik pewayangan.
Membelah kota Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Jombang, dan Mojokerto. Di Mojokerto, sungai Brantas bercabang dua. Yang satu menjadi Kali Mas mengalir ke Surabaya. Dan satui menjadi Kali Porong yang mengalir ke arah Porong.
Berjuta-juta kubik air bergerak dari hulu ke hilir hanya dengan mengandalkan pompa alam, gaya gravitasi bumi. Ini adalah salah satu sifat air. Hukum fisika menyatakan Ia akan mengalir dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah.
Sifat mengalir dari air ini kemudian oleh beberapa orang diambil sebagai filosofi hidup, bahwa semuanya mengalir.
***
Di salah satu bantaran sungai Brantas di daerah Jombang, tampak tiga orang muda menunggang kuda sedang dikepung oleh belasan orang.
Tiga orang muda itu, satu laki-laki berusia tujuh belas tahunan. Dan yang dua orang lagi perempuan berusia antara enam belas dan tujuh belas tahunan juga.
Yang laki-laki tampan dan gagah. Sikapnya penuh percaya diri. Rambutnya panjang terurai. Terlihat melambai tertiup angin.
Yang perempuan keduanya cantik. Muka kedua perempuan muda itu nyaris mirip. Hanya yang membedakan dari rambutnya saja. Yang satu rambutnya dibiarkan terurai, sedangkan yang satu lagi diikat.
Mereka adalah: Gardapati, Kamala, dan Lindri.
Perjalanan ketiganya telah sampai ke Sungai Brantas. Mereka sedang mencari informasi di dunia persilatan dimana keberadaan Kitab Bumi Langit.
Belum lagi sehari di daerah itu, perjalanan mereka di hadang oleh serombongan orang tak dikenal. Dilihat dari tampangnya, gerombolan itu bukan orang dari dunia putih.
Ya, mereka adalah para bajak laut yang biasa beroperasi di sungai Brantas. Biasanya mereka membajak perahu-perahu para pedagang yang kebetulan lewat disitu.
Tetapi sudah lebih dari satu bulan kemarau menerjang. Sehingga para pedagang lebih banyak menggunakan jalur darat dibanding jalur sungai.
Hal itu tentu saja membuat para bajak laut itu tidak lagi mempunyai penghasilan seperti biasa. Akhirnya mereka memutuskan untuk beraksi di darat.
Para bajak laut itu berjumlah 16 orang. Pimpinan mereka bernama Manggala. Manggala adalah seorang pria tinggi besar. Badannya nyaris seperti badan raksasa dalam cerita-cerita pewayangan.
Rambutnya panjang diikat. Mata kirinya memakai tutup kain dengan bentuk bulat berwarna hitam. Tangan kirinya sudah tidak utuh lagi. Tampak sebuah pengait besar sebagai gantinya. Tangan kanannya memegang golok besar dengan satu sisi tajam, sisi lainnya bergerigi seperti mata gergaji.
Kini Manggala dengan lima belas anak buahnya sedang mengepung Gardapati, Kamala, dan Lindri.
Melihat ada yang masuk wilayah itu, sontak saja mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan.
“Hei! Serahkan semua barang-barang berharga kalian, Anak muda!” teriak Manggala.
“Iya, jika kalian tidak mau celaka, segera serahkan seluruh barang-barang milik kalian!” timpal salah seorang anak buah Manggala yang bernama Hasta.
“Eeittss....enak saja kalian minta barang-barang kami! Lagipula kami tidak mengerti apa yang dimaksud berharga? Karena mungkin kita beda pemahaman. Apa yang kami anggap berharga, belum tentu kalian anggap berharga juga. Begitu juga sebaliknya. Jadi, menurut kalian apa yang dimaksud dengan berharga?” tanya Kamala dengan nada mengejek.
“Serahkan kuda-kuda kalian dan buntalan-buntalan yang ada di kuda dan juga di punggung kalian!” bentak Hasta.
Hasta adalah tangan kanan Manggala. Dia yang sering diberi tugas untuk memimpin jika Manggala sedang ada keperluan.
“Eeeeyyy.....tidak bisa! Kuda dan buntalan ini milik kami! Enak saja kalian ingin mengambilnya!” seru Kamala.
Lindri hanya diam saja. Tetapi seluruh tubuhnya sudah siap-siap menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi.
Sementara itu, Gardapati hanya menatap tajam orang-orang kasar yang ada di depannya itu.
Gardapati, Kamala, dan Lindri sudah turun dari kudanya masing-masing.
Mendengar kata-kata Kamala, mereka menjadi gusar. Hasta memberi kode pada beberapa kawannya dengan gelengan kepala sambil matanya melirik ke arah Kamala.
Enam orang dari mereka maju mendekat. Mereka hendak merenggut buntelan di atas punggung kuda, dan juga buntelan pada punggung ketiga anak muda itu.
“Serahkan barang kalian!” teriak Hasta memberi aba-aba.
“Plaaakkkk...plaakkkk.....plaaakkkk....plaaakkk.....plaaakkkk.....plaaakkk......!” Enam pasang tangan para perampok itu terkena tamparan Gardapati, Kamala, dan Lindri.
Tubuh keenamnya terhuyung ke pinggir terkena tamparan itu.
“Eeiiih....anak muda kurang ajar! Kalian mau main-main dengan kami ya!” teriak Hasta menyaksikan keenam temannya tidak berhasil merampas buntelan-buntelan itu.
“Serbu......!” Manggala langsung memberi aba-aba pada anak buahnya.
Mereka pun beramai-ramai menyerbu untuk merampas buntelan yang dibawa Gardapati, Kamala, dan Lindri.
“Deeessss.......deesssss.....deesss.....plaakkkk....plaakkkk......plaakkkkkk......!” tendangan dan tamparan dari Gardapati, Kamala, dan Lindri mendarat di tubuh para bajak laut itu.
“Aduuuuhhh.......arrrggghhh.....aiiihhhh.......ouuhhhh........!” teriakan-teriakan kesakitan ramai terdengar dari mulut para bajak laut itu.
“Sreeetttt....sreeetttt..........sreeetttt..........sreeetttt..........sreeetttt..........sreeetttt..........sreeetttt........!” suara golok keluar dari serangkanya.
Para bajak laut itu marah sekali menyaksikan ketiga orang yang dihadangnya ternyata bukan anak muda biasa.