Malam itu purnama penuh. Angin berhembus semilir menyentak ranting dan daun. Dingin terasa menusuk tulang.
Orang lebih memilih tidur sore-sore karena seharian telah bekerja.
Juga di perkampungan Rajasa. Hanya ada beberapa orang yang belum tidur ketika itu, mungkin karena ada keperluan yang tidak bisa ditunda-tunda hingga mereka harus keluar rumah.
Juga seperti yang dialami salah seorang penghuni perkampungan Rajasa yang bernama Narita.
Narita malam itu sakit perut. Dia terpaksa harus keluar rumah untuk buang air besar di sebuah sungai yang menjadi batas perkampungan Rajasa dan perkampungan Sinelir.
Ketika dia sedang asyik menikmati buang air besar, tiba-tiba dari arah belakang seseorang melempar dia dengan batu lumayan besar ke arah badannya.
Tentu saja terkena batu itu Narita merasa kesakitan dan marah. Belum lagi dia membersihkan hajatnya, langsung mengejar si pelempar.
Si pelempar lari dengan cepat ke arah perkampungan Sinelir. Larinya sedemikian cepat sehingga Narita tidak bisa mengejar.
Hanya terlihat jelas dia masuk perkampungan Sinelir.
Dengan rasa marah Narita pun akhirnya pulang ke rumah.
Keesokan harinya dia ceritakan kejadian ini pada kawan-kawannya.
Karena Narita sendiri tidak tahu siapa pelempar itu, maka dia tidak bisa mengajak berkelahi satu lawan satu dengan orang itu.
Hanya kemarahan yang ada tanpa tahu harus marah ke siapa.