Pemuda itu sangat tampan. Dilihat dari cara dia berpakaian seperti seorang sastrawan. Sikapnya lemah lembut. Rambutnya digelung. Pakaiannya sederhana dari bahan kasar.
Disampingnya tampak seorang setengah baya yang berpakaian sama dengan dirinya.
Keduanya hampir mirip. Yang membedakan hanya usianya.
Mereka sedang berjalan menuju istana kerajaan Singosari. Terlihat mereka berdua menikmati suasana Kotaraja.
Semua sudut kota dilahap oleh dua pasang mata itu. Semua pancaindranya berbaur dengan alam sekitar. Seolah tak mau tertinggal sedikitpun yang mengenai indranya.
Bau masakan dari rumah makan di samping kiri. Kain-kain sutra yang dipajang di salah satu toko. Suara bunyi logam yang beradu dari bengkel seorang pandai besi. Itu semua bagai simfoni indah yang baru mereka dengar.
Keduanya sudah terlalu lama hidup di dalam hutan di daerah Pasuruan. Hidup mengasingkan diri dari dunia ramai.
Hanya membaca dan menulis kitab kegiatan sehari-hari yang mereka lakukan. Makanan sehari-hari mereka adalah buah-buahan yang ada di sekitar hutan. Mereka tidak pernah berburu. Mereka tidak makan daging.
Orang setengah baya itu bukan orang sembarangan. Dia adalah keluarga istana. Ya, dia adalah Mahisa wongga Teleng. Putra dari Ken Arok dan Ken Dedes. Ayah dari Mahisa Campaka yang kini telah menjadi raja baru di Singosari bersama Rangga Wuni.