“Ria, jangan marah ya. Debby pacaran..."
Gadis bermata bulat itu berbisik. Tiga tahun menjadi teman sebangku, bisa dipahami bahwa Ria Tanjung sang teman sebangku sedang terkejut, terbaca dari lirikan berwajah datar itu. Namun, tetap tidak ada komentar apa pun, menambah ketidakenakan karena berjanji tidak akan pacaran, dan akan memanjangkan jilbab sampai ke bawah dada seperti apa yang dipakai Ria dan beberapa anak Rohis lainnya─tapi ternyata kini ia justru kembali berpacaran.
“Untuk apa aku marah? Yang pacaran kamu. Lagian, yang janji kamu,” Ria terlihat tidak peduli. Tidak bisa berterus terang bahwa ia bukan sedang kecewa pada Debby karena berpacaran kembali, tetapi karena gadis berparas jelita yang banyak disukai para siswa di sekolah itu sering meninggalkannya tiap kali ke kantin bersama.
"Ihhh... Ria marah," Debby bersungut-sungut manja.
Ria mengarahkan wajahnya pada teman sebangkunya itu. Memasang ekspresi yang selalu datar, bahkan saking datarnya, teman-teman sekelas menjulukinya si Muka Datar. Berada di kelas XII IPS 3 kelas terusuh di SMA ini sungguh di luar mimpinya, sebab hampir penghuni kelasnya selalu kompak berbuat konyol, jahil sampai tingkat kekanak-kanakkan yang sudah dikenal sukses menuai pandangan sebelah mata oleh kelas-kelas lain bahkan oleh beberapa guru. Tidak menyangka, mengingat ia selalu berusaha rajin belajar, tetapi justru kini terdampar di kelas para perusuh. Yang membuatnya nyaman meski kadang jengkel, hanyalah tiga dari lima teman lelaki yang merupakan para anggota dari salah satu band sekolah yakni band Silver Cool--yang sekelas dengannya, Ria sempat menjadi pengarang lagu band mereka sebelum aktif di ekstrakulikuler Rohis--meski kini ia tidak lagi aktif di ekskul rohani tersebut.
Tidak mempedulikan apa yang dilakukan anak-anak sekelas, didengarnya Debby tentang kenapa si jelita itu kembali berpacaran. Harus benar-benar memasang telinga karena riuh penghuni kelas saling beradu. Seorang guru masuk, bukan guru jam pelajaran, namun kehadirannya mampu meredakan riuh yang sempat makin meninggi. Kelas benar-benar hening ketika beberapa anak dari kelas lain turut masuk setelahnya. Lima dari mereka berjejer membelakangi papan tulis.
"Perhatian! Ini ada adik-adik kelas kalian yang akan melakukan kampanye pemilihan calon ketua OSIS. Lila dan Andreas akan menjelaskan," terang Pak Faqih, yang dikenal dengan ekspresi datarnya hingga banyak anak-anak yang salah tingkah karena tidak bisa menerka apakah guru itu sedang marah atau tidak.
“Assalamu'alaykum warahmatullaahi wabarakaatuuh," Lila, siswi dari kelas XII IPA yang masih menjabat sebagai ketua OSIS itu memulai. "Maaf, teman-teman," lanjutnya setelah salamnya dijawab serempak. "Kami mengganggu waktu teman-teman sebentar, kami minta kesediaan waktu untuk lima adik kelas kita berkampanye. Setelah itu, teman-teman nanti memilih salah satu dari mereka dengan menulis angka yang sesuai dengan angka yang sudah disematkan di saku OSIS adik-adik kita ini, di kertas kecil yang akan dibagikan Andreas," ditunjuknya lima calon ketua OSIS dengan lima jarinya yang merapat. Sementara rekannya yang bernama Andreas mulai membagikan kertas kecil ke seluruh siswa-siswi XII IPS 3.
Suasana kelas yang sempat hening, perlahan terdengar bisik-membisik ketika para calon ketua OSIS bergantian mempromosikan diri. Namun, memang dasar siswa-siswi rusuh, suara bisik-bisik tidak lagi terdengar seperti bisikan. Ada yang terang-terangan berdiskusi mengomentari para calon ketua OSIS, mengobrol mengenai pilihan mana yang terbaik, dan lain-lain. Hal itu dimanfaatkan salah satu calon untuk menyontek ucapan demonya dari sebuah kertas kecil dari saku celananya.