Ia menyadari itu.
Seorang gadis bertubuh mungil. Diam-diam tidak merasa asing dengan wajah polos itu. Entah kenapa merasa aneh dengan jilbab panjang yang dikenakan, namun bukan tentang keseganannya akan gadis berjilbab panjang. Tidak yakin pernah bertemu, ia pun mengabaikan.
Dan kebisingan kebut-kebutan motor itu melintas. Wajah-wajah para remaja labil itu dikenalinya. Namun yang paling mengejutkan, bahwa seseorang yang dibonceng pengendara motor yang sedang dikejar, wajahnya begitu mirip dengan si wajah polos. Semua begitu jelas ketika gadis itu terlihat cemas.
"Kenapa Ria?" tanya Debby kaget karena teman sebangkunya itu tiba-tiba berdiri seperti cemas seolah-olah baru ingat akan sesuatu.
"Debby, tadi Lukman! Adik aku dikejar! Aku harus cari ojek buat kejar dia! Aku harus tolong dia! Aku pamit ya! Assalamu'alaikum!"
Taka menyipitkan mata, tetap berusaha tenang. Menyembunyikan keterkejutan atas apa yang baru saja didengarnya. Menyembunyikan ketersadaran dari keganjilan yang sudah terjawab atas wajah gadis itu.
"Nggak! Bahaya!" Debby mencegah, lalu beralih pada Taka sang pacar. "Tolong temenin Ria! Anterin ke adiknya!"
Taka mengangkat kedua alismatanya, kali ini terkejut karena kenapa pula harus dirinya. Namun tidak bisa mengungkapkan, terlebih situasi cepat sekali menjadi genting. Ia seharusnya memaklumkan, karena Ria adalah teman sang pacar. Bukan waktunya untuk menawarkan beberapa kata, lekas berdiri, kemudian mengeluarkan beberapa lembar uang ke atas meja. "Kasih ke pramusaji ntar! Kembaliannya balikin ke gua!" pintanya menatap Fuchiya, tidak enak ia menyuruh-nyuruh sang pacar.
Debby menahan tawa. Fuchiya mengerutkan hidung, namun tidak bisa membalas lelucon pacar temannya itu, sebab Ria sudah keluar mencari tukang ojek tanpa menunggu Taka.
Segera Taka bergegas akan menghidupkan motor, memanggil Ria. Gadis yang dipanggil pun menoleh, terlihat ragu meski sudah diberi izin, melempar pandang sejenak pada Debby. Begitu sang teman sebangku menganggukkan kepala sekali lagi bahkan beberapa kali lagi untuk meyakinkan bahwa izin benar-benar sudah diberikan, Ria lantas memantapkan diri untuk segera duduk di belakang Taka.
Begitu gesit kuda besi yang ditumpanginya mengebut menantang angin. Tidak berbicara meski sekedar agar laju dipercepat sedikit, Ria justru diam oleh benaknya yang melanglang kemana-mana. Mencemaskan sang saudara satu-satunya. Sudah lama ia mencurigai Lukman sang adik akan pergaulan buruk.
Mungkinkan tentang Surga yang Retak?