Kiwi Berlumuran Cokelat Beku

Gia Oro
Chapter #6

Tiga Cowok Yang Saling Mengenal

Nasib sedang nahas. Bermaksud mengejar sang adik, ia justru menjadi tawanan. Taka memberhentikan kendaraannya ketika melihat Lukman dan temannya memasuki mall dekat lokasi motor yang mereka ditinggalkan. Gadis yang diboncenginya turun, tanpa mengucapkan sepatah kata seperti ucapan terima kasih atau mungkin minta tolong lagi untuk mencari dan menolong sang adik. Ya, meski para pengejar bermotor sudah tidak lagi mengejar, namun musibah tidak terduga seakan-akan menyusul setelahnya.

Seorang diri memasuki mall. Mengedarkan pandangan mencari sang adik yang tidak lagi tampak wujudnya, tiba-tiba seseorang melingkarkan lengannya ke leher gadis itu, saat itulah orang-orang bertopeng yang lain menunjukkan wujud mereka yang tersebar mengacungkan senjata ke para pengunjung mall.

Taka terlambat ketika memasuki mall demi menyusul, terkesiap oleh tindakan pria asing terhadap teman pacarnya itu. Ia tidak bisa sembarangan nekad menyelamatkan gadis berwajah polos itu. Tentu tidak ia saja yang menyadari ketidakamanan Ria. Bahkan bukan gadis itu saja yang merasa tidak aman, meski kemungkinan besar gadis itu yang akan menjadi korban pertama bila para pengunjung mall tidak mengikuti perintah para komplotan bertopeng hitam.

"Mall ini sudah dipasangi bom!" salah satu yang diduga adalah ketua mereka mulai menebar ancaman dengan toa, memicu beberapa pengunjung menjerit ketakutan. Namun sesungguhnya tidak hanya keamanan para pengunjung mall saja yang terancam, keamanan warga di luar yang tidak mendengar juga bisa terancam bila benar bom itu ada.

"Serahkan uang kalian, atau bom yang sudah kami letakkan di salah satu titik mall ini akan melenyapkan kalian!"

Jerit-jerit ketakutan semakin menjadi-jadi. Beberapa menutup telinga dan sudah berlarian menyelamatkan diri. Semua menjadi sunyi ketika salah satu dari komplotan menembaki salah satu CCTV mall. Para pengunjung mall berjongkok dan menunduk seketika. Dipastikan salah satu atau beberapa dari komplotan itu tersenyum karena para pengunjung mall bisa tenang meski dalam ketakutan.

Toko perhiasan dan beberapa pedagang barang berharga tinggi didatangi satu per satu, sementara para pedagang lain dimintai seluruh uang yang dimiliki. Harus gerak cepat, sebab senjata teracungkan ke kepala para pedagang itu. Pedagang-pedagang yang belum didatangi, terlihat menunggu pasrah akan mendapat giliran, beberapa ada yang pingsan karena tidak mampu menahan ketakutan.

Tidak, meski sedang dijadikan tawanan, Ria harus tetap tenang, harus mampu menahan diri agar tidak pingsan dikuasai ketakutan seperti mereka. Hanya satu dari semua anggota komplotan yang tidak mendatangi tiap toko yang tetap menahannya sebagai tawanan.

Saat-saat sulit seperti ini, berusaha diingat saat dulu berlatih ilmu bela diri pencak silat waktu masih SMP. Namun ketika orang yang menahannya memegang lehernya seperti ingin mencekik, Ria justru merasa geli. Terasa sangat lama tangan itu bersarang, sementara sang ketua komplotan terus menebar pesan mengandung teror. Tidak bisa menahan lagi, refleks menarik tangan yang memegang lehernya, memelintir, lalu sekejap kemudian, memutar tubuh sendiri ke belakang orang yang menyanderanya untuk ditendangnya hingga tersungkur.

Orang-orang yang melihat itu terkejut, namun juga terpukau. Komplotan bertopeng saling melempar pandang, sejurus setelahnya diarahkan pistol pada Ria─yang tiba-tiba mulai merasa takut karena menjadi sorot perhatian seluruh orang oleh tindakan heroik refleksnya barusan, padahal ia melakukan itu karena sudah tidak bisa menahan geli. Dan kini harus kembali ditelikung karena tersentak oleh pistol yang terarah padanya. 

“Kakak!” Lukman yang tengah bersembunyi bersama kawannya tadi, setelah ia merasa berhasil kakaknya tidak menemukannya, tidak tahan untuk memanggil. Hal itu justru dijadikan kesempatan bagi beberapa diantara komplotan bertopeng untuk menodongkan pistol ke arahnya.  

Ria yang semula menunduk pasrah, mengangkat pandangannya. Terlihat bahagia bisa melihat adiknya. Namun tersadar, adiknya juga dijadikan tawanan. Bukan cara seperti ini yang diinginkannya, meski ia tahu tiap orang yang ada di posisinya tidak akan menginginkan ini. Dirasakannya keringat dingin mengucur di tubuhnya, menahan ketakutan yang tidak hanya atas apa yang dialaminya dan adiknya saat ini, juga ketakutan dari sebuah trauma yang mengakibatkannya takut menjadi pusat perhatian.

Taka yang turut terpukau oleh gerak bela diri teman pacarnya itu tidak lagi hanya diam sebagai penonton. Ia harus mengambil jalan nekad. Mulai bertindak. Momen yang tepat ketika pergulatan atau pertempuran memang harus terjadi bila untuk menolong sesama, bukan lagi membuang-buang waktu seperti tawuran antar sekolah.

Ria melihat itu. Aksi heroik sang mantan berandal. Menyelamatkan saudara satu-satunya. Beberapa pengunjung laki-laki lain tersugesti turut membantu meski sangat jelas sekali tidak terlihat lihai dalam aksi bela diri.

Salah seorang dari para pengunjung laki-laki yang membantu Taka itu hampir mendapat balasan oleh salah satu anggota komplotan yang diserangnya, namun balasan itu tidak terwujud karena seorang lain lagi menolongnya.

Yuto?

Nama itu akhirnya tersebutkan meski di dalam hati--sejak mengabaikan sosok yang menjadi incaran para gadis di sekolah itu, setelah memendam perasaan yang tidak asing tiap melihat paras tampan itu. Sangat dihindarinya bersinggungan dengan para pemilik citra berandal meski kabarnya anak Myujikku itu tidak pernah berbuat ulah sebagaimana siswa terberandal di sekolahnya.

Alih-alih berpikir kenapa dia ada di sini, Ria justru terpukau oleh aksi anak band yang dikenal dingin itu, tidak menyangka bila postur tubuh itu sesuai dengan keheroikan yang disaksikannya kini. Belum pula Taka, memaklumi, mengingat pacar teman sebangkunya itu baru keluar dari geng berandal, pasti masih ada sisa-sisa memori yang mungkin saja pernah melakukan pertarungan semacam tawuran?

Menyaksikan mereka, terlebih para pengunjung yang kebanyakan laki-laki meski bapak-bapak turut membantu, Ria merasa harus tersugesti pula untuk melupakan ketakutan-ketakutannya agar kembali bertindak. Ketika tubuhnya bisa merasakan sejuknya AC mall, keringat dingin tidak lagi melemaskan tubuhnya, terasa pula olehnya telikungan tangannya yang merenggang, langkah gesit ia putuskan untuk menarik satu tangan orang yang menelikungnya. Sebuah gigitan disarangkan ke lengan orang yang menahannya itu, dan tentu saja ia mendengar teriakan kesakitan sampai kepalanya dipukul dan tubuhnya didorong keras sampai terjerembab. Meski kepalanya terasa sakit, namun kedua tangannya bebas. Ia harap setelahnya akan menjadi mudah karena terdengar suara toa dari pihak kepolisian di luar mall. 

Lihat selengkapnya