Siswa dengan kepala berdarah itu bernama Bukhori. Merupakan salah satu mantan anak buah Yuto, yang bersahabat dengan mantan anak buah Yuto yang lain bernama Rasya. Bersama beberapa anggota geng Yongki yang lain, memutuskan keluar dari geng BangBang, mengikuti Yuto untuk membentuk geng baru. Kedekatan Bukhori dan Rasya menguat saat di bawah kepemimpinan Yuto sebagai ketua geng. Selama menjadi ketua geng, Yuto selalu mengingatkan akan maksud dan tujuan dari gengnya. Perlahan tapi pasti, satu per satu anggota mulai sadar, hingga ada yang memilih keluar secara sadar diri.
Akan tetapi, salah seorang tidak menyukai keputusan pembubaran geng. Wahyu, ia menilai Yuto yang menurutnya telah lembek dengan tidak bertarung sebagai jalan hidup lelaki. Dirundung kekecewaan, ia kembali pada geng Yongki. Diajaknya sepupu tiri Yuto yang masih duduk di bangku SMP untuk masuk geng BangBang.
Bukhori dan Rasya mengetahui itu. Menemui Yongki tanpa berpikir untuk beri tahu sang Aniki lebih dulu. Melepaskan amarah, menuduh si Hiu sebagai biang keladi. Beberapa anggota BangBang yang melintasi kelas XII IPS 5 berhenti, melihat keributan itu, membantu rekan-rekan satu geng yang sekelas dengan ketua geng untuk mengeluarkan Bukhori dan Rasya.
Wahyu adalah salah satu dari anggota BangBang yang melintas dan berusaha memaksakan dua mantan anggota se-gengnya itu untuk tidak mengganggu ketuanya yang bertubuh Giant itu. Bogem dari tangannya tidak main menunggu karena dua orang yang akan dipaksa keluar justru memberontak.
Wajah Bukhori tersasar. Mulut bagian dalamnya berdarah. Para penghuni XII IPS 5 menjerit─terutama para siswi, ya memang sudah menjerit dari sejak anak-anak buah Yongki masuk akan memaksa keluar Bukhori dan Rasya, namun jeritan terdengar semakin banyak dan nyaring setelah pelepasan bogem itu terjadi.
Tidak peduli dalam keadaan satu lawan banyak, Rasya semakin membabi buta menyerang wajah-wajah kubu BangBang di kelas itu. Tidak disadarinya sebuah vas bunga dari meja guru sedang melayang akan melukai kepalanya, namun Bukhori berusaha melindungi. Bertepatan guru killer datang.
Pertengkaran berhenti. Waktu seakan-akan seperti jam dinding yang kehabisan baterai. Bukhori terduduk memegang kepalanya dengan mata terpejam terlihat menahan sakit. Darah mengucur. Seketika itu juga, para guru killer yang sempat tercengang sambil seolah menunggu apa yang akan terjadi padanya, segera mengamankan beberapa siswa yang berkelahi tadi. Hanya Bukhori yang tidak dibawa ke ruang BK, karena harus mendapat pertolongan menuju rumah sakit.
"Dan Bukhori saat ini masih dirawat di rumah sakit. Sedangkan Rasya dan anak-anak buah Yongki yang terlibat, harus diskors," Ria menjelaskan panjang lebar pada Lukman sang adik, setelah berbarengan pamit dari rumah menuju sekolah. Keterangan mengenai kejadian berdarah di kelas XII IPS 5 didapatinya dari Debby yang diceritakan oleh Anggi--pacar Yuto--namun kabar itu lebih tepatnya diketahui dari beberapa anak yang punya urusan dengan Yuto dan pernah punya keterkaitan dengan Yongki. Penjelasan itu dijadikan taktik supaya Lukman terpicu untuk berterus terang.
“Jadi gengnya Yuto memang udah bubar tapi ada mantan anak buahnya yang balik lagi ke si Hiu?"
Ria tersenyum mengangguk-angguk, sedikit puas karena adiknya menyimak bahkan memberi tanggapan yang sesuai harapan, meski agak kecewa karena sikap dingin itu tidak juga pudar.
"Lah tapi bukannya aneh dua mantan anak buahnya itu marah ke kelas si Hiu, seolah mereka masih geng?!"
"Ya, seharusnya sih itu urusan Yuto-nya ya. Tapi pasti dia gak mungkin diam aja tahu dua mantan anak buahnya begitu. Kan geng mereka udah bubar. Jadi, artinya mereka bisa disebut bukan lagi sebagai musuh... "
"Kak!" Lukman menyergah. Menghentikan langkah kakinya, menghentikan pula langkah kakaknya. "Kakak gak usah ikut campur. Kakak itu perempuan. Ini urusan laki-laki!"
Senyum sang kakak berangsur-angsur memudar oleh cara bicara sang adik yang begitu merendahkannya sebagai kakak dan sebagai perempuan. "Lukman jangan ngerendahin Kakak ya! Lukman kira Kakak gak tahu apa-apa tentang anak laki-laki? Hah?!"
Saudara satu-satunya itu memalingkan muka.
"Kalau Lukman tidak suka Kakak ikut campur, maka cerita! Kenapa Lukman dikejar?!" Diam-diam Ria tersadar setelahnya. 'Tidak suka Kakak ikut campur, maka cerita', bukankah sama saja aku akan ikut campur juga ya?
"Dikejar apaan sih?!" Lukman meninggikan suara. Berkilah.
"Kamu dikejar anak-anak cowok! Kebut-kebutan! Sampai ke mall! Kakak sampai jadi sanderaan penjahat!" Ria menunjuk-nunjuk wajah adiknya. Sudah tidak peduli apakah disebut ikut campur atau tidak, ia tidak mau adiknya mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan, belum lagi bila ayah mereka mengetahui yang apabila marah maka seolah-olah dunia akan sangat takut dilumatkannya. Suaranya yang lebih tinggi dari suara sang adik, membuat pejalan kaki sekitar menoleh.
"Kakak jangan malu-maluin!" Lukman merendahkan suaranya namun tetap dengan nada menekan, seraya memukul pelan lengan kakaknya. Merasa tidak nyaman oleh tatapan sekitar, didahuluinya langkah saudara perempuannya itu.
Ria yang merasa diperlakukan bak 'junior', menyusul langkah si bungsu. Begitu dekat, ia membalikkan tubuh yang sudah lebih tinggi darinya itu. Namun, saat akan meluncurkan beberapa kalimat, adiknya memberhentikan sebuah angkot yang biasa dinaiki sang kakak menuju sekolah.
"Sana! Sekolah! Gak mau kan Ayah marah-marah kalau Kakak dapat surat dari BK karena Kakak telat?!" Lukman sok menasihati, mendorong kakaknya masuk.