Tersentak. Sudah kembali pada kesadaran. Memandang jam dinding, bersyukur tidak kebablasan. Hanya merasa butuh istirahat saja karena sudah lama tidak bertarung sejak pembubaran geng. Sempat hilang kesadarannya kembali, namun oleh lamunan.
Ia tahu bahwa ia telah melakukan kesalahan dengan hadiri arena yang sudah ditekadkan tidak akan menjadi dunianya lagi. Namun ia tidak bisa menahan diri ketika menerima SMS dari Sugi bahwa dari mantan anak buah ketua OSIS itu yang saat semasa SMP, tidak sengaja mencuri dengar bahwa para junior Tanduk Api dan BangBang akan menjalani ritual tawuran di sebuah stadion yang jarang dijadikan pilihan untuk pengambilan nilai olahraga sekolah.
Terlintas kasus Bukhori dan Rasya yang mendatangi Yongki atas kerabat sang mantan ketua geng terseret menjadi anggota BangBang. Meyakini keponakan tiri ibunya ada di sana, bergegas ingin menyelamatkan--meski hanya sepupu tiri. Namun gadis berbekas luka yang sama dengannya itu memanggilnya dengan nama keluarga ayahnya. Foto itu sudah di tangan mungil itu. Terpaksa mengizinkan ikut demi menyelamatkan adik.
Ke sekian kali tidak menyangka bila Ria yang bertubuh mungil ternyata bukan gadis biasa. Semua orang akan tertipu oleh tampilannya yang terlihat lemah. Sempat terpukau oleh aksi terhadap para komplotan bertopeng di mall yang diteror isu bom waktu lalu, kembali lagi gadis itu begitu lincah memutar diri meraih kayu. Dia perempuan, tapi memiliki banyak ketidakterdugaan.
Oh iya!
Yuto menepuk dahinya. Ia telah meminta Taka supaya diizinkan bicara berdua dengan gadis itu. Tidak bisa mengungkapkan tentang kenapanya, hanya memasang wajah memelas memohon.
Tidak ada 'iya' atau 'tidak', namun dari sorot mata itu menunjukkan 'iya' sebelum akhirnya keluar memberinya privasi untuk berganti pakaian. Tetapi setelah mengganti pakaian, justru terduduk termenung di atas kasur, terhempas tubuhnya sampai mata terpejam menuju lelap.
Lekas keluar setelah sekali lagi melihat jam dinding yang sedikit lagi beranjak siang. Rupanya gadis itu terlelap juga. Yuto berdecak, karena seharusnya Ria beristirahat di kamar--bukankah Taka bilang punya adik perempuan? Alih-alih mencari dimana Taka itu sekarang, agak ragu-ragu ia bangunkan dengan bertanya, "Taka mana?"
Ria mengangkat kepalanya dan membuka mata. Tidak menyangka, ia benar-benar tidur meski hanya sesaat. Menoleh pada sumber suara. Ia pun menegakkan posisi duduk, dan mengucek mata. Separuh membalikkan badan melihat ke luar kaca transparan jendela. "Tadi dipanggil bundanya, gak balik lagi tau dah kemana..."
Yuto mengangguk-angguk. Agak takut-takut menghampiri. "Maaf, tadi aku tidur bentar. Hehehe. Dan... maaf lagi, aku ganggu kamu tidur juga. Hehe... Hm, gimana...??? Gak ada yang terluka kan abis dari tempat tadi? Bagaimana dengan tanganmu?"
Ria memandang kedua telapak tangannya, sudah bersih ia tepuk-tepuk setelah hampir mencium sepatu Yuto tadi. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, ia tunjukkan sepasang telapak tangannya itu.
Yuto mengangguk-angguk memandang sepasang telapak tangan mungil menggemaskan itu, mulai gugup karena Ria seakan-akan enggan sama sekali untuk bersuara. Terlebih, wajah itu begitu datar.
"Ohya, jadi kamu beneran gak tau kenapa ada anak-anak kelas XI tadi?"
"Nggak tau. Aku aja tau ada tawuran dikasih tau Sugi--ketua OSIS sekarang dan pernah jadi berandal saat SMP. Satu SMP sama ketua geng Tanduk Api. Mantan anak buahnya di SMP bilang, anggota junior Tanduk Api dan BangBang bakal tawuran. Aku keinget Marius, sepupuku. Ya, sepupu tiri sih. Tapi kan tetap aja keluarga. Trus kamu datang, Taka juga, tapi ya itu tadi masalahnya, kok anak-anak XI datang ngerusuh?"
"Trus, gimana? Kamu mau kasih mereka hukuman? Tapi kalian kan udah bukan geng."
"Sebenarnya aku keberatan masih dipandang untuk disegani padahal udah bukan ketua mereka, tapi kayaknya aku butuh itu, aku akan tetap kasih perhitungan ke mereka--yang masih menyegani aku. Tapi mungkin aku tidak akan memaksakan bila kasusnya kayak Wahyu. Eh, kamu gak tau Wahyu ya...?"
"Aku tau kok kasus Bukhori dan Rasya di XII IPS 5. Debby yang kasih tau. Dari Anggi."
Yuto terdiam mendengar nama itu. Memandang Ria begitu datar, kemudian mengangguk mengalihkan pandangan.
Ria sangat mengerti, dan ia tidak bisa lagi menghindari kegugupan ketika akhirnya pertanyaan itu dilontarkan padanya.
"Apa dia yang udah minta kamu hack aku--Anggi?"
Ria menelan air ludah. Menggaruk salah satu punggung tangannya yang tidak gatal. Terlihat berusaha menghindari jawaban, namun diputuskan saja untuk mengakui. "Iya. Dia ngira kamu main cewek atau balik nge-geng. Tapi, aku gak acak-acak akun kamu kok! Kamu masih bisa login! Kamu... jangan marahin dia ya... Plis!"
Yuto melengos namun tidak bisa menyembunyikan lengkungan di bibir, karena wajah datar Ria berganti dengan wajah memohon. "Kok kamu belain dia sih? Takut abis aku marahin dia, trus dia marahin kamu? Begitu?"
"Ya, aku kan gak ada maksud menyerahkan diri atau bilang ke kamu--macam aku mau adu kalian."
"Iya sih," Yuto paham karena Ria menghampiri disebabkan oleh foto masa kecil sepuluh tahun yang lalu. "Baik, aku tidak akan marahi dia. Aku tidak akan bahas pengakuan kamu ke dia bahkan ke siapa pun!"
"Makasih!" Ria menundukkan wajahnya ke sepasang telapak tangannya yang ia pertemukan sampai berbunyi satu kali tepuk.
"Tapi... gak nyangka ya kamu tuh hacker! Nekad pula! Kamu pernah ikut ilmu bela diri ya?"
Ria mengulum bibir, merasa berat mengakui lagi. "SMP. Aku pernah ikut pencak silat. Dan aku juga kenal ketua Tanduk Api. Kami satu perguruan silat."
Mata Yuto melebar, tidak menyangka bahwa Ria ternyata sudah mengenal ketua gengnya sang adik. Ia kemudian memaklumi bila gadis ini nekad masuk ke arena tawuran. "Bagaimana hubungan kamu dengannya?"
"Luky? Kami sering bertengkar. Karena saat tiba giliran aku berlatih dengannya, aku sungguh-sungguh dan selalu membuatnya memar."
Yuto tergelak, namun berusaha dikendalikan karena melihat wajah Ria yang kembali datar. "Kenapa kamu sungguh-sungguh?"