Kiwi Berlumuran Cokelat Beku

Gia Oro
Chapter #18

Peringatan

Papan kecil bertulisan 'close' itu digantung di pintu kafe. Terlihat menandakan seperti apa yang tertulis. Namun, masih belum jauh dari waktu tulisan itu digantung, para pemuda SMA baru saja masuk. Para mantan anggota dari kelas XII yang datang lebih dulu, meminta penutupan untuk menyewa seperti saat sebelumnya masih dalam ikatan geng. Pemilik kafe adalah kerabat dari salah satu mereka, mengizinkan supaya para karyawan menutup pintu yang gelap dari luar namun situasi luar bisa dilihat dari dalam, ditutup dengan tirai dari dalam. Mereka tidak akan rugi, karena pemimpin dari para pemuda itu biasanya akan memberikan beberapa lembar rupiah untuk biaya ganti rugi.

Di sana Yuto menetapkan seluruh para mantan anggota untuk berkumpul. Mengamati dengan dingin tiap mantan anggota yang memenuhi seruangan kafe yang cukup luas ini. Mendecis, karena sudah dibubarkan tapi masih seperti tidak ada bedanya. Sudah diketahuinya penyebab mengapa Rasya dan para mantan anggota dari anak-anaknya kelas XI datang ke tawuran Sabtu lalu. Martin yang melaporkan sebelum kafe ini disewakan; bahwa balas dendam atas Bukhori yang terluka, tidak terima atas Wahyu yang berkhianat, dan ingin mengeluarkan Marius dari geng BangBang junior ialah alasan-alasan mereka.

Diakui Rasya bahwa ia tidak sengaja mencuri dengar dari anak-anak buah Yongki tentang adanya tawuran antara para junior Luky dan Yongki. Diajaknya para anak kelas XI yang pernah dipimpin Yuto dengan mengatakan alasan-alasan tersebut.

"Seharusnya kita paham kalau kita udah bukan lagi geng. Gak seharusnya kalian anak-anak kelas XI bergerombol lagi. Tapi kalau karena kalian memang bengal, maka gua gak bisa diam aja. Gua bakal jatuhkan hukuman buat kalian. Yang tidak sependapat, angkat tangan. Ada yang udah berurusan sama guru karena muka memar kalian?"

Tidak ada yang mengacungkan tangan. Saling melempar pandang. Masih hari pertama untuk guru bisa 'mengenali wajah' mereka, karena mereka saja berusaha menghindari guru agar tidak dicecar banyak tanya. Belum lagi, hampir semua duduk di deretan bangku belakang.

"Gak ada? Oke. Tinggal nunggu waktu keberadaan geng termasuk kita yang udah sebenarnya dah bubar ini akan diketahui guru. Gua bakal samaratakan hukuman buat kalian, sekaligus buat jaga-jaga kalau guru ada yang nyadar dan bakal interogasi." Yuto diam sejenak, untuk menarik napas panjang. "Masih rahasia. Tapi kalian harus cari uang dengan ngamen kek, dagang kecil-kecilan, ngasong, pokoknya halal, uangnya serahkan ke gua, gua bakal kasih tau itu untuk apa."

Ruangan yang semula dikuasai suara Yuto itu riuh saling melempar tanya. Martin yang menjadi orang terdekatnya pun belum diberitahukan dan tidak tahu apa yang sedang direncanakan sang mantan ketua sekaligus sahabatnya itu. Ia lalu mengangkat kedua tangan dengan lima jari tangan kiri menekan telapak tangan yang membuka di atasnya, mengisyaratkan untuk diam.

"Baik," Yuto sengaja membiarkan mereka menduga-duga. "Hukuman ini baik untuk kalian kalau kalian ikhlas. Gua akan libatkan para guru dalam hal ini! Dan mengenai Marius, biar itu menjadi urusan gua! Terima kasih atas kepedulian kalian semua. Kalau ada yang keberatan, mohon hadapi gua atau ngacung sekarang juga!"

Penjaga kafe mengangguk-angguk, sudah diketahuinya bahwa anak-anak muda ini sebenarnya sudah bukan lagi geng, maka sangat ia dukung apa yang dikatakan sang mantan ketua. Sementara, para mantan anggota dari kelas XI saling melempar pandang menebak-nebak apa hukumannya. Meski begitu, tidak ada penolakan dari mereka seolah-olah mereka benar-benar masih terikat dalam geng.

Yuto lalu membebaskan mereka memilih makan apa pun, agar situasi sedikit mencair. Meski sudah dikatakan akan membiayai, tetapi beberapa mantan anggota yang segan tetap saja bayar sendiri. Tidak semua akan makan atau minum, tetapi beberapa ada yang pamit karena suatu urusan.

"Bukhori!" Yuto menghampiri mantan anggotanya yang baru seminggu masuk sekolah sejak kejadian di kelas XII IPS 5. Telah didengarnya bahwa Bukhori tahu tentang kejadian Sabtu kemarin, tetapi sahabat Rasya itu diam tidak memberi tahu. "Lu udah baikan?”

"Sedang masa penyembuhan, Aniki," Bukhori tidak berani menatap Yuto.

"Kenapa lu sembunyiin kabar tawuran Sabtu itu? Seharusnya lu bilang. Nama lu Bukhori. Nama hadits, kan? Gua pengen, lu terinspirasi dengan nama lu sendiri. Sesuaikan, nama dan akhlak lu!" Yuto merendahkan suaranya, menepuk hangat bahu Bukhori. "Bahkan meski nama kita biasa aja, kita harus tetap jadi orang baik. Ya!"

Bukhori mengangguk. "Alhamdulillaah, Aniki udah mualaf."

Yuto termangu sesaat, teringat belum bicara apa-apa pada Martin dan para anggota Myujikku lainnya perihal dirinya yang telah menjadi mualaf. Diliriknya Martin, terlihat bercengkrama dengan salah seorang mantan anggota.

"Aniki?" Bukhori memiringkan wajah menjangkau wajah yang lebih tinggi darinya itu. "Gua pulang ya!"

Yuto mengangguk. Matanya mengikuti gerak Bukhori menghampiri Rasya. Ia pun akan menghampiri Martin, begitu seorang mantan anggota yang lain sudah beranjak dari teman se-grup band-nya itu. Agak canggung ketika akan memulai obrolan.

"Kok lu gak bilang apa-apa ke gua tentang hukuman buat mereka?" Martin bertanya lebih dulu, terlihat sedikit ketus.

"Karena ini akan menjadi kejutan."

"Kejutan? Lu mau ngehukum atau kasih hadiah?" Pertanyaan ini membuat Yuto tertawa sekejap tanpa suara, tetapi kemudian lengkungan bibir itu memudar seperti akan mengungkapkan sesuatu. Alih-alih menunggu jawaban, dan tidak mengenali wajah yang terlihat seperti ingin mengatakan sesuatu itu, Martin bertanya lagi, "bagaimana kabar Marius?"

Lihat selengkapnya