Bis SMA Pelita Cempaka menunggu pada pagi jelang siang. Siswa-siswi anggota paskibra terpilih mengenakan kaus seragam berdesain separuh batik, dengan tertera nama dan logo sekolah di punggung. Mereka menunggu teman-teman yang belum semuanya datang, dan seorang guru perempuan yang menjadi penanggungjawab mereka. Mereka akan ke walikota untuk kompetisi.
Dua anggota peserta lomba dari kelas XII IPS 3 terlihat berlari kecil menuju bis. Salah satu dari keduanya adalah gadis berkerudung dan berkacamata, Ayu yang merupakan pacar Sugi sang ketua OSIS. Guru jam pelajaran yang masih berlangsung mengizinkan mereka mengikuti lomba. Dan, karena masih jam pelajaran, tidak ada yang melambai-lambaikan tangan begitu para anak paskibra itu memasuki bis dan berangkat.
Ayu ber-sms dengan Sugi--tentu saja dilakukan Sugi diam-diam karena sedang jam belajar, terlebih sekolah memiliki aturan melarang membawa ponsel bagi tiap siswa-siswi. Sesekali bercakap-cakap dengan teman sebelahnya. Bis berjalan mulus melewati jalan besar.
Macet.
Mulai gelisah.
Kendaraan-kendaraan lain seakan-akan mengepung bis mereka. Satu per satu suara keluhan terdengar. Salah seorang mencoba mengguyon untuk menyingkirkan keluh kesah. Beberapa ada yang tertawa.
Martin diantara mereka, berdiri dan mengajak bernyanyi menghilangkan penat. Tetapi, salah satu dari yang lain malah memberi usul agar latihan paskibra saja.
"Lu aja sendiri yang latihan! Iya kali di dalam bis!" sembur salah seorang.
"Gua dong! Gua dong!" seorang lain mengacungkan tangan. Maju dan berdiri di depan teman-teman, bernyanyi. Disambut protes yang bersahut-sahutan karena ternyata suaranya tidak sedap didengar. Keributan konyol pun terjadi, akhirnya pemilik suara yang tidak sedap didengar itu kembali duduk.
Sepakat, untuk bernyanyi bersama. Seolah-olah menyanyikan sebuah mantra, bis kembali berjalan. Wahyu yang duduk di dekat pengemudi mengusulkan untuk mencari jalan pintas. Dengan maksud tersembunyinya, ia sarankan pengemudi menuju sebuah jalan pintas menurut usulannya.
Saat memasuki jalanan sepi, bis berhenti. Suara-suara keluhan kembali terdengar, khawatir terlambat. Rupanya pengemudi keluar untuk memenuhi panggilan alam.
Martin melirik Wahyu--yang juga meliriknya dengan senyum tipis. Sesuatu yang janggal mulai dirasakan. Saat akan mendekat, para siswi berebut mengerubungi kaca belakang bis. Martin berbalik ketika teman-teman perempuannya itu berseru khawatir. Ia akan memeriksa. Matanya membulat melihat segerombolan pemuda berwajah garang membawa senjata yang tidak seragam antara satu dengan lainnya.
Anak-anak perempuan ketakutan. Begitu pula guru penanggungjawab yang tengah duduk di bangku paling belakang. Wajah-wajah segerombolan itu dikenali betul oleh Martin. Ia merutuk pengemudi yang lama sekali kembali.
Suasana menegang saat segerombolan itu memukul bis dengan senjata mereka. Suara para siswi mulai pecah dan nyaring, terlebih ketika satu per satu segerombolan itu memaksa masuk. Salah satunya menantang tiap wajah siswa-siswi di dalam bis.
"Serahkan uang kalian!!!"
Anak-anak perempuan saling berpelukan dalam ketakutan. Sementara para anak laki-laki mulai marah dan berusaha mengusir, tetapi kekerasan fisiklah yang didapat. Perkelahian amatir dari para anak laki-laki dengan segerombolan itu tidak dapat dihindari.
Salah seorang dengan lidah bertindik dari segerombolan itu memegang kemudi. Melajukan bis secara ugal-ugalan. Teriakan anak-anak perempuan yang histeris ketakutan begitu menghiburnya. Ia bahkan tertawa terbahak-bahak. Mengerem mendadak demi mendengar suara teriakan lebih kencang lagi. Para siswa dan segerombolan itu lantas keluar dari bis, melanjutkan perkelahian.
Si lidah bertindik mengelus-elus dagu seraya melirik Wahyu yang duduk di sampingnya. Sementara yang dilirik, diam pura-pura ketakutan. Si lidah bertindik tersenyum, menepuk pundak pengkhianat Yuto itu dan keluar dari bis.
"Teman-teman! Awas!" Ayu refleks berseru ketika terlihat olehnya si lidah bertindik mengeluarkan sebuah belati.
Si lidah bertindik tertawa mendengar teriakan Ayu. Matanya liar mencari seseorang diantara para siswa yang masih membela diri meski tidak memiliki kemampuan ilmu bela diri. Menerobos perkelahian yang sedang terjadi. Sejurus kemudian, belati itu menghunjam tubuh sasaran.
Martin ternganga, terbungkuk seperti memeluk si lidah bertindik. Kemudian mengerang ketika belati itu dicabut. Teriakannya memilukan siapa saja yang mendengar.
Bergegas, guru penanggungjawab keluar dari bis, meminta pertolongan. Diikuti beberapa siswi. Salah seorang mengingatkan untuk melepaskan ikat pinggang demi berjaga-jaga bilamana segerombolan akan mengejar.
Dan ya, mereka dikejar. Banyak yang tidak berdaya─meski berusaha melawan dengan ikat pinggang. Tapi usaha mereka yang berteriak minta tolong tidak sia-sia.
"Woy, udah woy!" Si lidah bertindik terlihat cemas ketika warga berdatangan, tetapi ia telah puas membuat Martin jatuh bersimbah darah dan meraung kesakitan. Saat akan melarikan diri, salah satu siswa akan mencegah, tapi si lidah bertindik menyodorkan belati bekas menusuk Martin. Siswa itu menjadi gentar.
Segera para siswa berinisiatif mengangkat Martin ke dalam bis. Salah seorang siswi pingsan karena syok.