Pria berseragam batik guru itu berperawakan tubuh yang sama dengan putra almarhumah adik perempuannya, Muammar Zidan Kotto. Berkulit putih, jangkung, bergaris wajah yang tegas tetapi memiliki sorot mata yang teduh. Mengenalkan diri dengan nama Asshafwan Kotto, sebagai salah satu guru di SMK Lentera Pusaka, merupakan wali kelasnya Luky Ekasakti. Zidan tinggal bersama Paman yang disebutnya mautiah[7]itu dengan mintuo[8] dan sepupu laki-lakinya, setelah diterima di salah satu SMA di Jakarta, meninggalkan ayah dan dua adik laki-lakinya di Solok.
Setelah meminta maaf pada pihak kafe--dengan mengaku sebagai guru dari para pemuda yang berbuat ricuh--Pak Asshafwan meminta supaya anak-anak itu tidak dilaporkan ke polisi, dengan menerangkan bahwa saat ini pihak kepolisian dan pihak sekolah sedang bekerja sama mengurus anak-anak berandal itu. Dengan ekspresi dinginnya, ia menyuruh Zidan untuk mengajak Yuto dan Sugi ke rumah, meminta penjelasan yang sebenarnya.
Bertempat tinggal di sebuah komplek perumahan, rumahnya bertingkat dan bergarasi. Di ruang tamu, anak-anak cowok itu memberi penjelasan mengenai duduk perkara permasalahan setelah luka dan memar mereka diobati. Awal pertemuan Luky tadi karena Luky sebenarnya ingin menemui Ria, tetapi Ria datang bersama Yuto dan Sugi--Taka dan Zidan menunggu di luar untuk berjaga-jaga. Dan benar, sosok yang mengajak janji temu ternyata tidak seorang diri.
"Jadi dia mau tawuran sama anak geng berandal di sekolah kalian?" tanya Pak Asshafwan--yang kemudian menyarankan untuk singkat menyebutnya Pak Shaf saja. Telah dipaparkan kepadanya tentang kenapa Luky mengajak janji temu dengan gadis berjilbab yang melarikan diri tadi.
"Iya, Pak," Yuto telah memaparkan pula semua terkait geng, sampai akhirnya Lukman ternyata lebih mendengarkan sang kakak. "Tapi Ria tidak cerita pada kami. Karena kami pikir kami juga harus menunjukkan proposal ke Luky, maka kami menemani Ria." Dikeluarkannya proposal dari tasnya.
Pak Shaf menerima lembaran-lembaran yang masih dalam keadaan dijepit dengan binder klip. Membuka dan membaca. Halaman selanjutnya, membaca secara scanning dan skimming. Tidak tahu bila Yuto mencari momen untuk bicara lagi.
"Kami sudah bicara pada salah satu guru kami, tapi ditolak saat diserahkan ke kepala sekolah."
"Kenapa ditolak?"
"Karena anak berandal. Takut ricuh katanya."
Pak Shaf mengangkat kedua alismatanya mengangguk-angguk. "Dengan guru siapa proposal ini ditawarkan?"
"Pak Aruan."
Seulas senyum mengukir di bibir Pak Shaf. "Saya kenal beliau."
Yuto dan Sugi saling melempar pandang. Sesaat setelahnya, Pak Shaf mengisyaratkan keponakannya untuk menaruh suguhan di meja. Baru disadari dua cowok bergigi gingsul itu bahwa Zidan sedari tadi begitu sopan dan menjaga sikap terhadap sang Paman.
Berlanjut, membahas para pengendara motor. Rupanya Yuto yang mengajak Taka tidak mengetahui bila anak-anak dari geng Taka dulu akan datang untuk menolong. Meminta Taka datang selain untuk berjaga-jaga dari luar, juga supaya tidak hanya Zidan saja yang mengawasi, apalagi si 187 senti itu tidak tahu wajah-wajah para anggota geng Luky.
Para anggota Tanduk Api yang mengejar Yuto dan Taka ternyata hanya berbuat untuk kesenangan belaka, dengan menelanjangi bersama-sama sampai akhirnya anak-anak Taring Bandit datang menolong dan merebut pakaian atas yang sudah ditanggalkan untuk dikembalikan.
Beralih pada pertengkaran Luky dengan Sugi dan Ria, dua anak buah Luky ragu membantu sampai akhirnya anak yang bernama Deni menolong sang ketua dengan menyasar Sugi. Mengakibatkan ketua OSIS SMA Pelita Cempaka terpecah fokus membantu Ria, hingga kakak kelas perempuannya itu beberapa kali dikenai lebam. Pun, tidak bisa mengabaikan Deni yang pula membangkitkan rasa sebal Sugi karena Deni ternyata adalah ketua gengnya dulu yang memutuskan keluar dari geng demi menjadi anggota geng Tanduk Api─karena takut ancaman Luky.
Tawa berderai saat membahas Ria dan Deni ternyata teman SD. Bernostalgia, membuat Luky mendehem, mengingatkan bahwa Ria dan Deni berada di ‘jalur yang berbeda’.
"Tapi kau sedang dalam bahaya, nak, kalau sampai pihak sekolah kau tau kau berkelahi," Pak Shaf memperingatkan Sugi. "Kau ketua OSIS."
Sugi baru menyadari itu. Mendesis. Jabatannya akan melayang, meski ia punya alasan bahwa ia memiliki niatan yang baik menemui Luky.
"Tapi kau jangan terlalu cemas. Saya akan membantu kau. Apalagi Pak Aruan itu kakak kelas saya dulu--ya meski mungkin dia bukan kepala sekolah."
Tiga pemuda di ruang tamu itu terperanjat. Saling melempar pandang dengan sorot penuh harap agar makin dipermudah. Pandangan pria yang sudah terlihat beberapa uban di kepalanya itu menerawang, seperti memikirkan sesuatu.
"Jadi, anak perempuan berjilbab tadi adalah Ria? Satu-satunya perempuan diantara kalian, karena adiknya adalah anak buah Luky...???"
"Ria dan Luky juga seperguruan silat, Pak." Yuto tidak menyadari bila Sugi dan Zidan meliriknya terkejut, tidak pernah diberi tahu tentang hal itu. "Sejak SMP mereka musuhan..."
"SMP? Dia satu sekolah sama Luky?" tanya Sugi. "Gua gak liat dia!"
"Gua gak tau satu SMP apa enggak, tapi mereka satu perguruan silat saat SMP," terang Yuto.
"Pantaslah dia keliatan tidak sadar diri sama bodi ciliknya!" timpal Zidan. "Untung ada Sugi! Saya tidak yakin Ria Tanjuang akan menang. Bahkan kalau saya tidak tarik dia dan Sugi pun, saya tetap tidak yakin. Luky seperti sudah sangat terlatih. Wajar, anak berandal. Sementara tuh cilik kan anak baik-baik yang selama ini kita lihat tidak pernah buat ulah di sekolah."
"Siapa namanya? Ria Tanjuang?" Pak Shaf justru fokus pada nama lengkap Ria.
"Iya, mautiah. Urang awak."
"Ndeh[9]...," Pak Shaf menarik sebelah ujung bibirnya.
"Emangnya ada apa dengan 'urang awak', Pak?" Sugi yang bukan orang sumatra, tahu benar dua kosakata itu karena lahir dan besar serta banyak berbaur dengan ragam suku di ibu kota.
"Tidak ada. Hanya merasa senasib seperantauan saja. Tapi tetap, meski tidak ada hubungannya dengan asal sukunya, tetap tidak seharusnya dia begitu--bertengkar dengan anak laki-laki yang tidak imbang dengan kondisi dirinya yang kecil. Ya meski bukan berarti dengan tubuh yang sepadan pun, tetap tidak boleh berkelahi, apalagi mereka lawan jenis." Ungkapan Pak Shaf ini membuat ruang tamu hening sesaat atas si gadis mungil, terlebih Yuto yang masih tidak pernah terpikirkan olehnya gadis yang selalu dirindukannya sejak kecil kini berwatak kelaki-lakian.
Bukankah dia anak Rohis? Yuto membatin mengingat jilbab panjang itu. Baru menyadari bahwa gadis itu sudah tidak lagi bersama anak-anak Rohis.
"Jadi, bagaimana, Pak?" Sugi membuyarkan hening. "Apa Bapak mau menolong kami untuk memudahkan rencana pengakuran ini? Ya, sekalian supaya saya tidak akan diberhentikan secara tidak hormat dari kepengurusan OSIS..."