Ponsel akan dikembalikan. Terlintas akan mengirim pesan untuk berjanji temu, namun tebersit akan diam-diam mengamati untuk memastikan bisa menghampiri. Sempat berpikir untuk akhirnya memilih mengirim pesan berjanji temu sebagaimana rencana sebelumnya, sebab belakangan sejak usai bertemu berempat di lab selalu dipandanginya begitu sibuk beramai-ramai bersama anak-anak OSIS di masjid sekolah--karena memang luas melebihi ruang serbaguna.
Akan tetapi, akhirnya mata mereka sempat bertemu.
Bodoh, Ria justru merasa ke sekian kali selalu tertangkap basah bak pengagum rahasia yang diam-diam memandang sang pujaan.
Tidak. Cukup saat ia kedapatan menghindari pandangan dari Yuto, dan sangat bagus Yuto mengira Ria sedang menyembunyikan ancaman Luky.
Tidak, Ria memutuskan untuk benar-benar membuntuti. Tanpa sedikit pun mengirim pesan, bahkan tidak pula menerima pesan.
Maka pada hari saat seorang siswi menghampiri Yuto untuk menyatakan cinta, ia mengintip. Ia menunggu. Sempat terpana, sebab baru kali itu melihat bagaimana seseorang menyatakan cinta pada lawan jenis. Merasa perih melihat siswi itu ditolak Yuto meski secara baik-baik, tidak sadar keberadaannya sudah diketahui. Memposisikan diri bersembunyi dari balik tembok, tertunduk turut merasa pedih.
"Kamu ngefans ya sama aku?" secara mengejutkan, Yuto sudah menghampirinya.
Ria terlonjak kaget, refleks membulatkan mata. Menyengir malu karena sudah ketahuan. "Anu... hehe...," tidak bisa ia meneruskan, ingin menangis mengingat siswi tadi.
Yuto melongo, tidak mengerti kenapa Ria kemudian mengusap air mata. "Ada apa? Luky ngancem kamu lagi?"
"Apaan sih! Anak tadi kamu tolak... kasihan..."
Yuto berdecak gemas, membayangkan bisa mencubit pipi gadis itu, tidak disangka memiliki perasaan yang sebegitu sensitif. Ada rasa syukur, sebab sempat khawatirkan kelaki-lakian yang diidap gadis masa kecilnya. Bersyukur terkait hal lain pula, karena sempat khawatir akan gadis ini yang dirasa mencurigakan sejak menyatakan tidak ingin terlibat dengan kegiatan pengakuran lagi, namun saat ini akhirnya datang menghampiri meski Yuto yakin bukan tanpa sebab Ria menghampiri.
"Kamu mau aku terima dia?" Yuto jahil menanyakan hal yang tidak penting barusan.
"Ya nggak juga sih," Ria dalam imajinasinya mengetuk kepalanya dengan palu besar seperti di kartun-kartun.
"Yaudah, jangan nangis. Nanti diledek Luky!" Yuto menahan senyum.
Ria memandang tidak mengerti terhadap Yuto yang seperti sedang menggodanya. Tanpa menunda lagi, ia meraih sesuatu dari ranselnya. Mengembalikan barang yang ia yakini dititipkan padanya.
"Apa ini?" tanya Yuto, yang lebih tepatnya tidak menanyakan benda apa yang sedang disorongkan ke dirinya. Namun lebih kepada bertanya, apa maksud dari Ria mengembalikan ponsel yang sudah ditaruh di kotaknya itu.
"Aku... udah gak bisa ikut pengakuran lagi kan... jadi aku mau balikin ini..."
Yuto terpaku diam. Menggeleng samar. Pula hampir tidak bisa berucap kata seakan kelu. "Kenapa kamu gak mau terlibat?" Pertanyaan yang pernah ia utarakan sebelumnya.
Ria mengangkat pandangan, menunduk kembali, dan menggeleng adalah jawaban. Ia tidak bisa berterus terang. Tetapi sebenarnya sedang menahan diri untuk tidak mengungkapkan bahwa ia sebenarnya juga merindukan pertemuan dengan Yuto, ingin meluapkan dan menceritakan masa-masa usai insiden penculikan Kouji. Namun tidak, meski sudah bukan anak Rohis, selalu ingat olehnya dari kakak mentor Rohis bahwa tidak boleh mencurahkan isi hati pada lawan jenis.
"Baik," kata Yuto setelah merasa beberapa detik berlalu tanpa bertukar kata. "Baik, kalau kamu tidak mau mengungkapkan. Aku tidak akan memaksa. Tapi kamu tetap akan memakai ini. Kita akan tetap komunikasi. Kali aja kamu ada sesuatu untuk kami semacam ide meski kamu udah gak bareng kami lagi."
Ria kembali mengangkat wajah, memandang wajah maskulin itu yang entah mengapa terlihat keibuan. Tatapan yang mengingatkan pula pada tatapan Ibu. Namun juga teringat pula ayah yang kerap memaksa untuk pertanyaan darinya Harus. Sungguh sangat berbeda dengan Yuto.
Perbandingan macam apa itu?
Jelas!
Aku anaknya! Jadi 'wajar' Ayah memaksa...
Ria berusaha mengingat orang lain yang pasti pernah tidak memaksanya, karena yakin bukan Yuto orang pertama sebagai orang yang tidak ada ikatan darah yang tidak memaksanya atas suatu atau beberapa hal, namun memang hanya Yuto yang memasang tatapan keibuan.
Benda mahal di tangannya kemudian sudah berpindah ke tangan Yuto, dan oleh Yuto pula dimasukkan ke tas Ria kembali.
"Kepala sekolah sudah menandatangani proposal kita. Kamu harus tau semua perkembangannya, meski kamu udah gak bareng kita lagi. Ya!" Yuto mengeluarkan proposal dari tasnya dan menunjukkan tanda tangan itu.
Perasaan kelabu Ria terkait sanak keluarga tersingkirkan demi memandang tidak percaya pada tanda tangan itu. Tanpa mengucap sepatah kata, ia meraih ponsel yang gagal ia kembalikan, untuk memfoto tanda tangan itu.
"Kamu kayak kucing aku ngeliatnya! Sipit juga kayak kamu!" Yuto dengan jahil mengintip wajah Ria yang menunduk demi konsentrasi dalam memotret.
Seketika wajah Ria datar oleh dirinya disebut mirip kucing Yuto, namun kembali tersenyum memandang hasil jepretannya. "Aku akan kasih tau anak-anak Silver Cool!"
>>><<<
Tanggapan pertama kali diterima dari tiga anak Silver Cool pada keesokan harinya, saat sedang berempat di taman dekat lapangan futsal, menunggu sepi antrian koperasi.
"Beneran?" Nana di balik kacamatanya, mengejap-ngejapkan mata turut merasakan senang.
Ria mengiyakan, memaparkan kembali dari penjelasan Yuto ketika dua anak Silver Cool dari kelas lain ikut bergabung menjadi berenam; Pak Shaf yang beberapa hari lalu datang menemui Pak Aruan, menjelaskan apa yang terjadi sehari sebelumnya, sampai akhirnya diarahkan menemui kepala sekolah untuk menerangkan niat baik para perancang ide pengakuran.
Kepala sekolah sempat geram, namun menjadi terkendali ketika Yuto dan Sugi yang diminta Pak Shaf datang dan menerangkan detailnya. Perihal geng-geng berandal, belum pula pengorbanan para mantan anggota geng Bullet yang mencari dana, dan terakhir sang mantan ketua sendiri menjadi sasaran permainan geng Tanduk Api. Memeriksa proposal yang sudah diedit, belum dijilid, tanda tangan sudah tertegaskan di sana.
"Katanya, itu udah jadi perintah," tutur Ria, menceritakan lagi bahwa terlalu cepat kepala sekolah membubuhkan tanda tangan, karena menurut Sugi dan Yuto, harus diskusikan dengan anak-anak OSIS dulu. Kepala sekolah justru secara tegas menyatakan bahwa kegiatan pengakuran sudah tidak bisa lagi sekedar menjadi diskusi, ia akan menyatakan perintah berupa surat resmi pada seluruh anak OSIS untuk mewujudkan ide perdamaian itu.
"Berarti lu bakal jadi pelita di kelas kita," Rafael berjenaka. "Secara, guru-guru pada gak suka sama kita. Padahal masih ada Yongki terberandal!"