Menjalani masa hukuman dengan menjadi pesuruh tukang kebun dan tukang bersih sekolah. Menuruti saja meski tidak lagi diawasi guru sekiranya ia melawan bila disuruh-suruh. Kesempatan untuk ke toilet, tebersit menghubungi mantan ketua Taring Bandit. Tuturan Bu Sondang atas dalih Yongki berbuat celaka membayang-bayanginya.
Tidak yakin. Yuto tidak yakin, maka dari itu ia butuh penjelasan. Tapi rupanya Taka tidak pernah tahu bila Yongki sering menggoda Debby saat kelas X. Sempat tepekur setelah Taka menemui Debby untuk menanyakan kondisi usai diganggu si Hiu, si jelita bermata bulat itu ternyata lebih mengkhawatirkan Anggi yang sedang cemburu dengan Ria.
"Lu tenang aja, Ria pernah gua tanyain apa lu suka sama dia apa nggak, dia gak suka romans kok! Temennya cowok pula! Ya moga aja gadis masa kecil elu baik-baik aja dari mantan lu!"
Santai Taka berkata begitu saat ditemui Yuto usai Debby dan Anggi beranjak. Ia terkekeh mendapat pelototan karena jahil sekali bertanya seperti itu.
Masa bodoh. Yuto harus mendesak Taka supaya mengantarnya mengejar Ria. Beruntung, Taka tahu rumah Ria karena pernah jalan dengan Debby dan melewati serta menunjukkan rumah sang teman sebangku.
Menghampiri. Menyatakan permintaan maaf. Memaklumi amarah. Kembali berupaya supaya tidak ada bentang. Tidak mampu dengan sikap abai itu, tebersit cokelat, karena teringat kiwi berbalut cokelat beku yang menjadi 'kewajiban' bertemu pada sepuluh tahun yang lalu. Namun memang, pernah membaca tentang penelitian terkait cokelat dan suasana hati.
Sosok yang menjadi salah satu alasan kegiatan pengakuran harus dijalankan pun datang. Seperti biasa, sikap sok galak seperti orang tua pada anak atau kakak pada adik, yang khawatir dengan sesiapa yang berdekatan dengan sang saudara perempuan.
Ria seakan-akan berusaha menguasai sang adik melalui intonasi suara dan pandangan mata yang sayup-sayup mencengkram. Dan Yuto bisa melihat Lukman seperti bergidik. Pun dirinya sendiri saat dihampiri, tidak berani menatap.
Merasa tersadar, atas apa yang dikatakan gadis itu sebelum sosoknya beranjak diikuti si saudara berwajah serupa.
Yuto mendekati Taka, mengatakan apa yang dikatakan Ria, karena memang posisi Taka yang tidak akan memungkinkan untuk menjangkau apa yang disayup-sayupkan gadis itu.
Dua pemuda itu cukup ngeri, namun tetap bersyukur karena dari apa yang dikatakan sebelum pergi, gadis itu menyiratkan keterkaitan terhadap kegiatan pengakuran lagi, padahal sebelumnya mengaku berhenti.
Taka terkejut, namun tidak bisa mendengarkan dalih di baliknya, sebab Yuto sendiri tidak diberi tahu.
Esoknya ke sekolah, Yuto merasa canggung karena masih terbayang tatapan dan suara sayup-sayup kemarin. Memasuki kantin. Tas itu menyadarkannya. Tas yang dipungut anak-anak yang membopong Ria ke UKS, sebuah penjelasan lagi didengar tentang sebab tas itu dibuang. Bu Sharita yang menemani Yuto ke ruang BK, menaruh tas itu ke UKS saat Yongki sudah keluar dan Yuto baru masuk setelahnya.
"What are you thinking?"
Sebuah suara mengetuk benaknya untuk sadar bahwa ia telah berada pada satu hari setelah kejadian kemarin. Pandangan menunduknya terangkat. Mengejap-ngejapkan mata karena sudah duduk saja di depan gadis itu. Bingung. Ternyata ia berjalan dengan kondisi benak yang mengarah pada kejadian kemarin, dan tidak sadar tahu-tahu sudah duduk di depan Ria. Padahal, sebelumnya gadis itu sedang berdiri menghadap salah satu warung kantin membelakangi Yuto seperti membeli sesuatu. "Apa kamu baru duduk?"
Ria mengelap beberapa noda yang bisa dirasakannya di sekitar bibir dengan ibu jari kanan, sangat jelas menunjukkan bahwa ia memang sudah duduk di sana untuk menandaskan jajanan. Namun sengaja tidak menegur Yuto yang duduk termenung. "Kamu mau sate rolade? Aku belikan, ya! Sebagai ganti permulaan atas coklat kemarin!"
"Eh, tidak-tidak-tidak!" Yuto cepat mencegah saat gadis itu akan berdiri ke warung tadi. Dalam hati cukup lega, karena wajah itu tidak lagi ketus seperti kemarin. Kembali dengan sorot mata polos yang menggemaskan.
"Apa kamu melamun? Masa' gak tau aku dah duduk di sini?"
Yuto menyengir kecil, menundukkan pandangan merasa bisa-bisanya tak sadar jalan dan tahu-tahu sudah duduk bahkan tidak sadar gadis itu juga duduk di depannya. "Apa kamu sudah memaafkan aku?" tanyanya takut-takut menatap.
Ria memangku kaki kanannya ke atas kaki kirinya. Wajah polos itu beralih menjadi seperti berpikir. "Kemarin aku bilang 'akan', ya? Hm... kalau begitu, aku yang akan minta maaf karena terkesan menggantung... padahal kamu sudah mahal-mahal membeli dua coklat..."
"He? Aduh... aku tidak sedang mengungkit cokelat! Seakan-akan aku akan minta cokelat itu kembali kalau kamu tidak memaafkanku!" Yuto agak memberengut pada kalimat terakhir.
Ria menahan senyum oleh wajah memberengut itu yang terkesan seperti anak kecil. "Yaudah, tapi aku makasih banget. Karena dari cokelat itu aku berhasil bicara dengan adikku."
Kali ini wajah memberengut itu beralih dengan binar yang terkendali, melebarkan mata, turut merasakan apa yang Ria rasakan. Akan tersenyum, namun hanya sebentar karena teringat perkataan Ria terhadap sang adik bahwa cokelat adalah kesukaan Lukman. "Apa dia suka sekali dengan cokelat?"
"Kayak kucing liat makanan. Dan, dia pun juga suka kucing."
Yuto ber-oh pelan, mengangguk-angguk. Tidak menyangka, anak sok galak seperti Lukman masih menggilai cokelat. Dan memang, saat Ria pergi setelah berkata sayup-sayup kemarin, gadis itu menggodai sang adik yang mengikuti dengan mengacungkan cokelat, akan digapai adiknya tapi disembunyikan lagi, diacungkan lagi, disembunyikan lagi seperti mempermainkan.
Ternyata hubungan mereka menggemaskan sebagaimana adik kakak pada umumnya..., Yuto menggumam di dalam hati. Mulai merindukan adiknya yang telah tiada.
"Sekali lagi, makasih ya. Aku sudah memaafkan kamu!"
"Berarti kalau hubungan kamu gak membaik sama Lukman, aku gak bakal dimaafin ya?"
"Bukan begitu. Aku tuh nggak suka diajak bicara kalau sedang kesal. Tapi kamu terus mendesak. Jadi aku bilang aja 'akan memaafkan', dan kondisi hatiku baru membaik setelah Lukman gak dingin lagi sama aku, jadi aku yang justru sekarang merasa bersalah karena kamu sampai belikan kami cokelat kemarin."
"Heh...??? Tidak perlu merasa bersalah. Kan emang aku yang salah. Aku juga bikin kamu kesal karena aku gak minta persetujuan kamu untuk temui Luky, kan? Aku minta maaf untuk itu juga, ya!" Yuto kembali dengan wajah memohon.
Ria berdecak namun tersenyum, karena Yuto masih mengingat hal yang dilupakannya. "Saling memaafkan yuk!"
Yuto bengong sesaat, lalu mengangguk seraya berkata, "makasih!!!"
"Tapi... kenapa kamu kasih Lukman coklat juga?"