Jantungnya bergemuruh menyaksikan sebuah berita kecelakaan lalu lintas di TV. Napasnya tertahan. Suhu sejuk AC di kamar hotel yang disewanya saat ini seakan-akan tidak bisa menembus kulit epidermisnya. Tertunduk perih dengan mata terpejam kuat. Ponsel yang tidak jauh dari posisinya disambar. Salah satu kontak akan menerima panggilan masuk darinya.
"Rio! Bagaimana keadaan puturaku? Apa yang turjadi padanya?!" dengan bahasa Indonesia yang sudah lama tidak dilatih, ia bertanya.
"Ayumu-san," suara di seberang sana bergetar. Terdengar tidak mampu berkata-kata. "Seharusnya saya tidak membiarkannya keluar..."
"Dia tidak apa-apa, bukan?"
"Dia di IGD masih dalam keadaan tidak sadarkan diri..."
“Aku tidak akan mumaafkan Johnny dan antek-anteknya yang turah muncurakai puteraku! Mureka harus munuai akibatnya, Rioner!” Ayumu meninju kasur empuknya.
"Kau harus bersabar, Ayumu-san. Isitighfar... putramu tidak benar-benar sendiri. Saya akan selalu ada untuknya. Dia bahkan memiliki teman-teman yang tulus. Pihak kepolisian tentu tidak akan tinggal diam. Mungkin memang ini salah saya..."
Ayumu menggeleng tidak ingin menyalahi saudara tiri dari mantan istrinya itu. Menutup mulut dengan satu kepalan tangan, menggeleng lagi ketika hampir berkata seandainya perceraian tidak terjadi.
"Sudah saatnya kau menemuinya, Ayumu-san. Momen yang tepat untuknya!"
"Apa dia akan munurimaku?" Ayumu tidak mampu menahan gemetar suaranya.
"Dia pasti menerimamu, Ayumu-san... dia merindukanmu... Kau dibutuhkannya..."
"Yu... to...," Ayumu menyeka air mata menyebut nama putranya.
Setelah Lionel--yang disebutnya Rioner karena belum terlatihnya lidah Jepangnya menyebut 'L'--meyakinkan sekali lagi supaya menemui Yuto, sambungan ditutup. Iizuka Ayumu, lelaki itu, merupakan ayah dari Nagase Yuto, masih termenung dalam geram.
Sudah lama menunggu tanggapan dari sang putra atas foto yang pernah ia kirim sebagai awal pelepas rindu, notifikasi media sosial itu justru datang dari sang mantan adik ipar. Mendengarkan semua ketika foto-foto terkutuk itu tersebar. Sebuah organisasi ilegal yang pernah diikuti si semata wayang, menentang kegiatan yang sedang dilakukan dengan dua pihak sekolah yang berbeda. Dan itu, sangat disesalkan Ayumu.
Gengster. Padahal putranya dari keluarga gengster yang hijrah. Namun bukan momen untuk menyayangkan. Sudah pasti banyak yang terjadi hingga putranya justru terjun ke dunia kelam itu. Dan kini sang putra sudah hijrah dan mualaf. Sudah tidak tahan ia memesan tiket ke Indonesia. Namun apa yang barusan menjadi berita di TV sungguh menyayat hatinya.
Miharu..., Ayumu mendesiskan nama sang mantan istri. Sudah diketahuinya dari Kei sang adik bahwa ibu dari putranya itu berada di Jepang dan menikah. Wanita itu telah meninggalkan si semata wayang yang masih terluka.
Tidak, tidak ia biarkan putranya menjadi yatim piatu secara mental. Ia harus bisa membantu putranya memulihkan luka batin yang menyebabkan masa kelam itu tertuai.
>>><<<
"Masa kelam?"
Langkah gadis itu terhenti, memandang tidak mengerti.
Zidan mengejap-ngejapkan mata, tidak mengerti juga dengan tatapan itu. Kamudian bilang, "iya..."
Ria tidak juga melanjutkan langkah. Masih tidak paham. Sudah membaik kondisi tubuhnya untuk masuk sekolah. Baru setengah jalan ke sekolah di hari pertama, Zidan menegurnya dan bertanya bagaimana kabar setelah izin sakit, sebelum kemudiannya meminta maaf tidak ke rumah Ria karena Yuto malu dengan masa kelam. Tetapi bukan pada masa kelam Yuto yang membuatnya tertegun, melainkan kata 'kelam' itu. "'Masa kelam'? 'Kelam'? 'Kalam'... 'gelap'?"
Zidan tidak bisa menahan tawa kecil, mengusap wajahnya kuat-kuat. Ria seperti tidak tahu apa itu 'kelam', gadis itu seperti ingin memastikan arti 'kelam' sama dengan 'kalam' dalam bahasa minang. "Iyo!!! Kalam!!!"
"'Masa yang gelap'?"
"Iyo, Ria Tanjuang! Kau tak tau kosakata itu?! Berapa dasawarsa sih kau jadi orang Indonesia?!"
"Waktu SD, bahasa Indonesia-ku jelek. Aku hanya ngerti bahasa minang..."
"Itu SD!!! Sekarang kau SMA! Dialek kau saja sudah Jakarta, tidak seperti saya yang masih kentara!!! Pasti kau besar di Jakarta, bukan?!" Zidan menahan gemas diiringi kesal. Ia pun mendengus keras, ditanggapi tawa kecil oleh Ria yang rupanya sengaja mempermainkan saudara sekampungnya itu. "Syukurlah kau bisa ketawa! Saya khawatir kau masih sakit hati karena foto-foto itu!"
Wajah Ria muram mendengar itu. Hal itu dengan mudah dimengerti Zidan.
"Kau belum memaafkan dia?"
"Ha? Dia punya salah apa sama aku? Dia gak ada salah." Kali ini Ria yang mendengus, lalu kembali melanjutkan langkah.
"Kau tak ingin tengok dia?" Zidan bertanya seraya berusaha menyejajari langkahnya dengan langkah kecil gadis mungil itu.
"Apa?" Ria memandangnya tidak mengerti. Ia mengira Zidan mengajaknya menengok Yuto yang sedang masa skorsing.
"Hey! Kau tak tau?!" Zidan mulai waspada atas benarnya dugaannya.
"Apaan sih?!" Ria terlihat tidak senang.
"Berhenti!" Zidan menghentikan langkahnya dengan menghadang di depan, tepat di sebelah penjaja koran. Ia lalu mengalihkan mata pada koran yang dijejerkan. Membeli salah satunya. "Kalau saya tunjukkan hp, nanti ketauan guru. Jadi lebih baik kau baca ini!"
Ria dengan wajah tidak mengerti, menerima koran itu setelah Zidan menunjukkan salah satu judul. Sesaat kemudian, roman mukanya menjadi tegang. Tercengang memandang Zidan setelah koran itu sekilas ia baca. "Yuto...???"