Kiwi Berlumuran Cokelat Beku

Gia Oro
Chapter #41

It's Show Time!

Ia tidak perlu memusingkan hal demikian. Keterlibatan pihak kepolisian yang menyamar di rumah itu dan di rumah sakit. Pengalaman berurusan dengan pihak kepolisian sudah diawalinya saat masih di masa putih biru. Keberandalan yang sudah sejak SD sampai ke jenjang sekolah menengah. Memalak bahkan mempermainkan lawan jenis.

Tidak menyelesaikan SMP─yang sama dengan Yongki, setelah dikeluarkan dari sekolah akibat membunuh anak satu sekolah saat tawuran internal. Menjadi narapidana. Namun, bukan bertaubat, ia justru menjadi-jadi. Gengnya dari SMP menggurita, anak sekolah lain terjaring pula untuk menjadi anggota geng.

Awalnya anggota dibayar untuk menarik minat. Uang yang didapat pun dari hasil haram membuat video asusila. Kadang-kadang, target utama adalah anak-anak lelaki yang terlihat lugu dan akan dibuat menjadi 'gaul'. Bilamana ada anggota perempuan, atau anggota memiliki pacar, maka anggota perempuan atau pacarnya anggota lelaki harus rela berzinah di atas ranjang dengan sang panglima.

Namun meski begitu, orang-orang di dalam organisasi itu merasa tidak sepenuhnya bersalah. Adanya orang yang tidak mampu dan orang-orang yang sulit mendapatkan pekerjaan yang masuk ke organisasi itu, baginya ia telah membantu pemerintah dalam menanggulangi pengangguran dan kemiskinan.

"Seharusnya kita menerima penghargaan dari pemerintah atas tertanganinya beberapa kemiskinan di negeri ini ya setidaknya di ibu kota ini, bukan?"

"Apa kau akan melakukan protes ke gedung pemerintah?" lawan bicaranya mendelik namun tersimpan kelakar di baliknya.

"Kukira kau tidak semestinya bercanda, John. Kupikir kau paham bahwa anak-anak sekolah itu tidak seharusnya sok pahlawan!"

"Nama-nama mereka sudah ada pada kita. Sungguh bodoh mereka melibatkan para anggota BangBang ke grup pengakuran, yang menjadikan profil media sosial mereka diketahui."

"Apa kita akan menyasar mereka juga?"

"Sangat mungkin sekali itu dilakukan. Tapi sama saja mengulur waktu. Padahal ada yang lebih menggiurkan--Cleo menemukan bahwa peretas yang merebut sampai menghapus akun itu adalah si pencetus kegiatan pengakuran itu sendiri. Haha! Benar-benar gadis mungil yang menantang maut!"

Ah, hal demikian sudah disebarkan ke seluruh anggota. "Mungkin sudah saatnya drama itu dilakukan?"

"Sudah waktu yang tepat. Sebagai pembalasan atas penembak maut kita yang tergilas, supaya mereka tiada sempat menjeda untuk merasa lega--atau merancang yang mungkin bisa saja disebut pembalasan untuk kita."

"Kalau begitu, aku menemukan lokasi yang tepat untuk menyekap si penantang maut itu."

Tawa mereka berderai. Saling menyulangkan minuman. Dering ponsel menghentikan mereka yang hampir menenggak arak. Sebuah panggilan masuk diterima pria yang rupanya Johnny itu. Selepas sambungan berakhir, ia menautkan sepasang iris cokelatnya pada wanita yang disebut Ratu oleh para anggota organisasi.

"It's show time! Segera urus akan dibuat apa atau dibawa kemana si penantang maut itu!"

>>><<<

Sudah di penghujung bulan suci. Sudah berganti-ganti momen menegangkan terjadi selama kegiatan pengakuran dilakukan. Foto-foto itu masih berderet dari kegiatan pertama sampai kegiatan ketiga di mading. Terasa benar olehnya begitu berat anak lelaki berponi di masa kecilnya demi mewujudkan 'Janji Aniki'. 

Benar-benar tanpa ampun mafia (yang ternyata memang benar adanya setelah sebelumnya hanya desas-desus saja) itu tidak memberi jeda bernapas--diibaratkan orang yang ditekan kepalanya ke dalam air tanpa beri kesempatan mengambil napas di udara--dari tiap 'kejutan' yang diberikan. Sedang jalani skorsing, si gingsul itu kemudian alami penembakan. Baru terasa perih olehnya melihat tubuh itu tidak berdaya meski Paman Lionel sudah bilang kondisinya hanya menunggu siuman. 

Dan sosok itu. Ria bersyukur, lelaki yang merupakan ayah anak lelaki berponi di masa kecilnya datang di saat-saat terpuruk. Diusir ibu karena mualaf, ayah datang ingin menjaga kembali. Namun entah mengapa ada semacam keganjilan yang berusaha menggeliat dari diri saat di dalam hati menyebut ayahnya Yuto itu sebagai si mantan mafia Jepang. Ia tidak tahu apa itu. Berusaha memindai memori untuk meraih ingatan, justru benaknya terarah perih pada foto-foto masa kelam. Bukan, bukan karena merasa paling suci, namun ia benar-benar tidak mengerti mengapa saat melihat (baca: mengetahui) foto-foto itu dirinya merasa sakit hati--bahkan kadang-kadang sakit hati itu turun ke lambung menjadi asam lambung atau dorongan akan BAB.

Ah, apa benar yang diyakini Taka terhadap dirinya? 

Menyukai sang anak lelaki berponi?

Ria terpana oleh gumaman di dalam hatinya itu. Kalau memang benar, seharusnya aku cemburu saat ada siswi menyatakan cinta pada Yuto, bukan? Tapi tetap, aneh, kenapa justru waktu itu aku menangis melihat siswi itu ditolak?

Ah, bukan momen yang tepat untuk menelusuri diri apakah benar sedang jatuh cinta--meski beberapa kali terpukau oleh paras itu--atau hanya sebatas khawatir sebagai teman. Namun, memang sangat tepat pada momen bulan suci, ketika pagi-pagi sekali ini datang ke sekolah dan belum ke kelas, empat siswi itu datang.

Clara?! 

Ria menolehkan pandang pada Kiki yang sedari tadi berdiri di sampingnya, mengisyaratkan tanya dengan kode ekspresi : ada apa ini. Gadis keturunan Jepang itu kedua kali menjemputnya pagi-pagi ke sekolah, setelah sebelumnya sudah bilang melalui sms. Ria mengira tidak ada apa-apa sampai pacar Nana itu memintanya berhenti di depan mading dan memandang foto-foto kegiatan pengakuran--seraya menyayangkan musibah yang dialami Yuto. Namun oleh kedatangan empat gadis itu, Ria harus paham bahwa memang ada sesuatu yang akan ditujukan padanya.

"Clara nemuin anak-anak Silver Cool, mau minta maaf sama kamu. Anak-anak Silver Cool minta kami untuk membawa Clara ke kamu," Kiki agak berbisik, mengerti dengan wajah tanya itu.

Ria mengangguk. Sudah paham, dan memang seharusnya tidak perlu bertanya meski dari raut muka, namun ia belum yakin. Diperhatikannya wajah gadis berbando itu datang terlihat sukarela ditemani Poppy dan Alya, tentu saja pula Anggi--yang mungkin sudah ke sekian kali membujuk Clara untuk minta maaf.

Empat gadis berhenti beberapa langkah dari sosok yang dituju, Poppy dan Alya saling melempar pandang mengandung isyarat. Alya, ia yang akhirnya menghampiri, mengulang apa yang sudah dikatakan Kiki pada Ria.

Ria mengangguk paham lagi, namun hampir terbengong bak memandang gadis cantik tiada tertandingi saat memandang si gadis berbando. Yang dipandang pun mulai melangkah mendekat dengan tatapan menunduk penuh sesal.

"Maaf gua telat minta maaf," Clara sudah memulai, tidak sadar membuat Ria canggung sudah seperti akan mendengarkan pernyataan cinta saja. "Tapi gua benar-benar merasa bersalah. Gua gak kenal elu selain kenal muka--dan lu temen anak-anak Silver Cool. Tapi gua udah salah sama elu! Gua minta maaf! Dan gua minta maaf lagi kalau gua telat!"

Ria benar-benar terbengong. Mungkin jika rasa sakitnya masih ada, ia akan segera menuntut Clara dan Najma saat ini juga meminta maaf padanya. Sementara, ia sudah berusaha memperbaiki suasana hati atas pertengkaran dari Aulia, tidak mau berharap didatangi untuk mendengarkan permintaan maaf, sebab memang seiring waktu berjalan dan atas apa yang dihadapi sehari-hari membuatnya lupa dengan perasaan sakit hati--terlebih Luky datang sampai memutusi Najma dan membebakbeluri Aulia. Tapi mungkin ini momen yang baik, karena aku gak lagi panas hati, ya seharusnya aku bisa memaafkannya... apalagi sekarang Ramadan...

Sebuah tangan menepuk salah satu bahunya. Kiki, ia mengingatkan supaya Ria tidak bengong.

"Iya... a... aku maafkan."

"Uyeiiiy!!! Para penggemar Yut-tiang bersatu!" Kiki kelepasan meliukkan badannya. Lantas kembali jaga sikap begitu dihunuskan tatapan tajam oleh Alya. Belum lagi siswa-siswi yang baru datang sempat terhenti langkah mereka oleh ketidaksengajaan melihat gerak meliuk itu. 

"Ketauan laki lu bisa diseret ke pengadilan lu!" Alya menunjuk Kiki seperti anak lelaki yang mengajak berkelahi--selepas siswa-siswi yang baru datang tadi sudah sadar dan melangkah ke kelas masing-masing. 

"Eh jangan dong, Al. Gua gak siap mendua eh salah, menduda!" Kiki mempertemukan kedua telapak tangannya, memohon. 

"Menjanda, anjir!" Poppy geregetan oleh lelucon Kiki, namun terderai jua tawanya.

Lihat selengkapnya