Kiwi Berlumuran Cokelat Beku

Gia Oro
Chapter #42

"Kami Orang tua Ria Tanjuang."

"APA?!" 

Suaranya lantang seakan menembus langit-langit. Refleks bangkit dari sandaran pada tembok. Terbatuk. Makanan yang akan ditelannya hampir saja salah masuk saluran. Ia mengelus tenggorokkannya, lalu minum beberapa teguk. Setelah makanan masuk ke saluran yang semestinya, napasnya masih memburu.

Zidan mengejap-ngejapkan mata, tersadar telah salah bicara pada Yuto yang baru bisa duduk setelah dua hari siuman dan telah mampu bernapas tanpa selang oksigen. Makanan di atas sendok yang siap berpindah ke mulut si Yutti itu urung mendarat, mencoba merasakan kegeraman pemuda 178 senti itu meski mungkin salah momen. 

"Benar-benar gak ada satu pun?" Yuto masih ingin memastikan apa yang sudah diceritakan Zidan. Betapa tidak, disengajakan benar oleh pihak kepolisian merahasiakan dari media terkait adanya mafia supaya dengan tidak memberita--yang berkemungkinan seluruh pelosok tahu dan bisa memicu para sasaran melarikan diri--maka diharapkan mudah bagi para aparat untuk menyebar ke berbagai sekolah demi melakukan penyelidikan, namun serempak para anak sekolah yang diduga kuat dinaungi Johnny sudah tidak masuk sekolah sebelum penembakan usai dari memandangi rumah Ria itu terjadi. 

Zidan mengangguk bak anak buah terhadap sang ketua. Diam-diam waswas bila Yuto akan menanyakan dimana ponsel, atau akan bertanya kenapa TV kamar inap VVIP tidak dihidupkan. Sebab pemuda 187 senti itu bersepakat dengan paman Lionel dan ayahnya Yuto untuk sembunyikan ponsel dan remote TV, menghindari bilamana Yuto akan mengetahui tiga insiden baru lagi melalui salah satu media. Kondisi Yuto yang belum pulih benar, dikhawatirkan memperlambat kesembuhan bila turut frustasi atas tiga berita itu.

"Sambil makan!" Zidan mengisyaratkan Yuto membuka mulut. Sudah kali ke sekian ia memaksa Yuto untuk menerima suapannya atas kondisi kedua tangan yang terbelalai selang infus.

Yuto menerima suapan itu, mengunyah dengan muka geram. Tidak sengaja lidahnya tergigit. Meraung ia kesakitan.

"Makanya jangan mikir macam-macam dulu! Coba rileks makannya!"

"Tapi gua kan diem aja! Gak ngo--ADDDOOOOOOH...!!!"

Zidan menahan tawa, segera meletakkan piring di atas lemari kecil berbahan aluminium dekat ranjang, demi menutupi kedua telinga. "Nanti perawat atau satpam masuk, Yutti! Dikira ada kesurupan rumah tangga di sini!"

Yuto tidak bisa meralat kata 'kesurupan' yang disebut Zidan, menjadi 'kekerasan', ia bahkan tidak bisa menutup mulutnya, dan kedua sudut matanya mengalir buliran air mata oleh rasa sakit di lidah. Terasa oleh indera pengecapnya itu rasa zat seperti besi, namun oleh kebanyakan orang mungkin disebut rasa amis. Disentuhkannya satu jari ke lidahnya, dan ia melihat cairan merah. "Cengeng banget gua darah segini doang! Tapi sakit...," ia berkata dengan hampir tidak menggerakkan lidahnya.

"Gak usah sok jagoan lah kau. Kalau sakit ya sakit aja. Ahaha!"

Yuto mendengus. Mengusap air mata yang terlepas lolos dari sudut matanya. Menutup mulut. Wajahnya ditekuk seperti menyimpan bara dendam entah pada siapa.

Zidan mengamati, menghitung bilangan detik untuk baginya kembali menyuapi lagi. "Lagi..."

"Gua gak selera! Lidah gua sakit!" Yuto menggertak galak.

"Yaudah," Zidan urung akan mendaratkan makanan lagi ke dalam mulut Yuto. Untung saja tawaran untuk memberikan minuman, tidak mengalami penolakan. Selepas gelas itu diterimanya kembali untuk diletakkan di sebelah piring, ia memandangi si 178 senti yang masih mendesis kesakitan, lalu menahan tawa lagi.

"Kenapa lu ketawa-ketawa liat gua?!"

"Saya merasa rindu adik saya di kampung kalau suapi kau begini. Adik saya laki-laki semua. Meski mereka gengsi, tapi saya kan pengen bisa memanjakan mereka sekali-sekali. Ya seperti kau yang selalu menolak saya untuk menerima suapan saya, hehe...," Zidan dalam diam memuji diri sendiri karena pandai sekali menemukan jawaban yang lain, padahal jawaban yang sebenarnya adalah karena merasa lucu melihat Yuto memberengut oleh lidah yang tergigit. 

Di dalam hati, Yuto merutuk si Monas Padang ini yang justru masih sempat-sempatnya membahas rasa rindu pada adik-adik di kampung. Namun tak pelak, menularinya untuk merasa rindu pula pada adik yang justru dirinya ternyata lebih miris karena adiknya telah tiada--tentu saja tidak akan pernah ada momen melepas rindu. Termenung akan insiden satu dekade lalu, teringat insiden itu dijadikan bahasan saat janji temu di dekat laut, melihat Lukman, diyakininya seusia dengan Kouji sang adik. Mengingat Lukman, merembet ke pertemanan diam-diam dengan Marius, teringat pula wajah yang pertama kali dilihatnya saat siuman.

"Eh tapi kau tahu?" Zidan dengan menyebalkannya membuyarkan rasa rindu Yuto akan Martin yang menjadi wajah pertama yang dilihatnya saat siuman. "Sebelum anak-anak Silver Cool dan dua cewek plus dua anak Myujikku datang menengok kau, salah satu dari dua cewek itu menengok kau loh sehari sebelumnya. Sayang, kau belum jadi siluman.”

Yuto mengerutkan kening, berusaha mencerna apa maksud 'belum jadi siluman', namun kemudian membelalak tajam diiringi tawa yang gengsi untuk ditampilkan. "'BELUM SIUMAN'!"

"Itu maksud saya. Kan Jepang gitu kan kartunnya siluman semua ya? Saya ditawari Sugi nonton apa tuh--Inuyasha. Kelakuan Inuyasha mirip kau ya. Menyebalkan."

Lihat selengkapnya