Sepatah dua patah kata dirasa tidak mampu mewakili kekeluan lisan. Tiga berita yang saling berkaitan dan bersamaan, tersembunyikan olehnya. Diketahuinya justru dari orang tua gadis masa kecilnya.
Dua orang yang seharusnya bersebelas dengan sembilan orang yang bergantian datang menengok, rupanya sedang mengalami musibah. Berawal dari salah satunya yang meminta bicara empat mata. Sebuah kecelakaan terjadi. Turut berkerumun bersama para warga. Entah bagaimana, salah satunya dibawa seseorang, seorang lain menerima tikaman dari belakang. Dan si penerima tikaman dirumahsakitkan di rumah sakit yang sama dengannya saat ini.
"Jadi Luky... dan... Ria...???" Yuto tidak mampu meneruskan. Belum lagi, berita ketiga yang diketahuinya tentang mengapa orang tua Ria datang, karena Lukman juga sedang diopname di rumah sakit yang sama. Rupanya di waktu yang bersamaan tetapi di tempat yang berbeda, saudara yang berwajah serupa dengan gadis masa kecilnya itu alami pengeroyokan oleh sekelompok pemuda. Tentu saja oleh dirinya yang tidak tahu apa-apa, membuat orang tua gadis masa kecilnya memandang heran.
"Maafkan saya, Yutti! Saya menyembunyikan, karena kondisi kau belum pulih!" serta merta Zidan memohon padanya yang tercenung. Ia lalu agak menunduk pada orang tua Ria, pun Ayumu dan dokter Fajar yang masih di tempat, mengatakan kata yang sama pada Yuto sebelumnya.
Merasa ingin mengepalkan kedua tangan, bahkan sudah membayangkan akan meninju Zidan saat melihat kedua orang tua Ria menceritakan apa yang sudah terjadi, namun Yuto tidak mungkin melakukannya. Belum lagi ayahnya, sudah pasti turut pula ikut serta, dan, ia tidak sampai hati baru saja melepas rindu namun harus merasa geram pada lelaki tersayangnya itu.
"Pihak kepolisian bilang, bahwa penculikan diduga kuat oleh adanya mafia yang menaungi geng-geng berandal di berbagai sekolah, disebabkan kegiatan pengakuran yang sedang dijalani dua kubu dari dua sekolah yang diidekan oleh Ria sendiri," ayah Ria melanjutkan paparan dengan dialek kedaerahan yang kentara, ingin mengutarakan maksud yang sebenarnya. "Yang jadi pertanyaan, kenapa Ria tidak cerita apa-apa...???"
Yuto hanya diam, tidak bisa turut merasa kecewa atas Ria yang tidak terbuka pada kedua orang tua, sebab anak-anak Silver Cool saja takut pada lelaki--yang terlihat ada wajah Ria dan Lukman di wajah itu--yang selalu terlihat menahan geram namun juga perih atas kondisi sang sulung yang tidak diketahui.
"Nak...," Ibu Ria terbata berkata, selalu terlihat menyeka air mata. "Apa Ria akan baik-baik saja? Kau mantan anggota anak geng yang dinaungi mafia itu... ?"
"Teman kami sedang mengusut--selain dari pihak kepolisian, Bu, Pak," Zidan yang menjawab, sudah tidak terlihat lagi rupa jenakanya sejak orang tua Ria masuk. "Dia yang menggantikan Ria saat akun penyebar foto masa kelam Yuto tersebar."
"Jadi itu dirimu?" Ibu Ria menatap Yuto menahan perih atas jawaban yang berkaitan dengan foto masa kelam--sebagaimana Ria yang tidak terima atas adik yang dizinahi Stella. Tidak menyangka atas berita-berita yang sedang hangat dan mengejutkan belakangan ini melibatkan putrinya.
"Maafkan saya, Bu-Pak!" Yuto memohon maaf, tak mampu menahan setitik airmatanya yang menjadi luruh. Tebersit akan bilang ingin bertanggung jawab atas Ria bahkan Lukman, namun sesak yang begitu dominan membuatnya tidak mampu berkata-kata lagi.
Ibu Ria tertunduk tidak mampu lagi menahan tangis atas nasib sulungnya. Suaminya menepuk-nepuk bahu istrinya.
Yuto tergugu. Merasa ingin mencari gadis masa kecilnya saat ini juga. Namun, perlahan kemudian mengerti kenapa tiga berita itu disembunyikan darinya. Kondisi tubuhnya belum benar-benar pulih. Ia khawatir justru akan merepotkan bilamana gadis berlesung pipit itu rupanya lebih membutuhkan, sementara dirinya sedang lemah.
"Apa ada yang bisa menjamin bagaimana keadaan Ria saat ini?" tanyanya begitu orang tua Ria sudah pamit keluar, yang lantas kemudian ditatap tiga orang termasuk dokter Fajar yang belum keluar.
"Hontouni gomen nasai, Yuu-kun!" Ayumu berkata--yang hanya pada putranya selama di Indonesia berleluasa berbahasa Jepang tanpa harus kesulitan berbahasa Indonesia--meminta maaf. Selama orang tua Ria masuk, ia tiada bicara karena takut semakin menyulitkan orang tua Ria yang sedang kalut, akan makin dongkol oleh bahasa Indonesianya yang belum fasih.
Meski tidak tahu--lebih tepatnya adalah tidak ingat bahwa di kelas pernah dibahas ungkapan permintaan maaf--atas apa yang telah diucapkan ayahnya Yuto itu, Zidan turut pula berkata, "kami minta maaf, Yutti. Kau masih belum pulih benar untuk mengetahui hal ini."
"Saya tau itu! Tapi apa ada yang bisa menjamin, HAH?!" Napasnya menderu setelah berkata dengan nada membentak. Turut merasa kalut.
"Mungkin kau bisa temui dua anak yang masih di IGD saat ini," dokter Fajar menawarkan. "Selepas salah satu infusmu dilepas dan mereka sudah ke ruang rawat inap, kalian bisa bertemu."
Yuto tidak memberi tanggapan apa-apa, meskipun cukup ternetralisir suasana hatinya oleh usul tersebut. Dipandanginya dua selang infusnya secara bergantian di kedua tangannya. Merutuk. Entah kenapa pula kedua tangannya merasakan ketidakbebasan.
Pihak kepolisian datang pada esok yang rupanya hari raya idul fitri, meminta maaf atas disembunyikannya tiga kabar, namun tetap meyakinkan ihwal aparat yang sedang berjuang. Sempat bertanya mungkin Yuto tahu markas organisasi Johnny, namun Yuto tidak tahu selain tempat-tempat yang pernah ia beri tahu saat ditengok Pak Gilbert dan Pak Susilo untuk meringkus--namun rupanya saat didatangi tempat-tempat itu sudah tidak ada apa-apa atau siapa-siapa lagi. Sudah pasti ada tempat lain yang menjadi sarang orang-orang mafia itu.
Dengan masih belum puas selepas pihak kepolisian itu pamit dari kamar inapnya, Yuto memaksa Zidan menunjukkan tiga berita itu dari ponsel. Lukman alami pengeroyokan, di saat yang sama Luky mengalami penikaman dari belakang, dan Ria oleh pandangan Luky sebelum ditikam sedang diseret oleh seseorang ke sebuah mobil. Menjadikannya semakin geram namun tidak terwujudkan selain dari roman muka. Merutuk Zidan namun hanya di dalam hati, karena baru disadarinya pandai sekali si Monas Padang itu membuatnya untuk selalu lupa saat teringat keganjilan perihal Luky dan Ria--yang tidak bisa dihubungi oleh sembilan orang yang menengok bergantian pada waktu itu. Makanan yang disuapinya dari Zidan tidak ada rasa apa-apa. Si Monas Padang itu bahkan tidak berani membuat lelucon lagi, membuat Yuto segan pula untuk menunjukkan amarah.
Untuk pertama kali sebagai muslim yang seharusnya merayakan hari raya, namun tidak sedikit pun berseri suasana hatinya memikirkan apa yang dialami tiga orang itu, terlebih sang gadis masa kecil yang tidak jelas kabarnya. Baru ketika Paman Lionel dengan istri dan anaknya datang menengok--terutama Ismail--berusaha tersenyum. Wajah polos sepupu tirinya itu membuatnya tidak akan membiarkan adik sepupu tirinya itu turut pula merasa sedih atas apa yang sedang berlangsung.