Pepatah Rumahku Surgaku agaknya memang tidak berlaku bagi beberapa anak. Rumah yang seharusnya menjadi tempat bernaung, dan rumah yang seharusnya menjadi tempat kembali, justru seakan-akan panas bahkan bak neraka bilamana para penata surga 'tidak tahu' bagaimana menyelami hati para peri kecil mereka.
Ayah sendiri yang menyebut rumah seperti neraka, membuat si sulung yang berusaha berpikir baik dan selalu percaya bahwa bidadari dan bidadara-nya selalu memberikan yang terbaik, ternyata salah menilai terhadap salah satu diantara mereka hingga terharap keinginan akan sebuah bentang dengan para penata surganya--meski dengan ibu pun yang dikiranya sepaham dengan ayah karena kerap membungkam (walau terlihat seperti takut) kecuali bila ayah menurunkan tangan beringas itu.
Kendati begitu, bukan berarti saat ini dirinya sedang berada di surga. Tentu saja pada mulanya merasa takut dan cemas akan keberadaannya begitu kesadaran sudah terjangkauinya. Butuh waktu baginya untuk percaya bahwa ia memang sedang diculik. Memorinya merambat mundur pada sebuah kecelakaan yang mencuri atensinya, turut berkerumun, menyaksikan, tiba-tiba seseorang membekap mulut dan hidungnya dengan sapu tangan dengan aroma yang membelenggu kesadaran.
Setelah melewati pandangan yang samar menuju gelap, kesadaran itu kembali ter-raih dengan mendapati dirinya berada di sebuah ruang sepetak dengan tembok bercat hitam. Mengabaikan rasa pusing akibat kondisi yang belum memulih benar demi rasa penasaran yang mendominasi, diperiksanya sekitar. Sebenarnya sudah terlihat dari sejak bangkit duduk, tidak ada apa-apa selain dirinya, kecuali kamera CCTV di salah satu ujung sudut atas ruangan, kipas dinding yang berhembus mengitar, lampu kecil di tengah langit-langit, dan satu pintu yang ragu untuk ia buka.
Mengira sedang bermimpi, kembali Ria merebah ke tempat terbangunnya tadi. Sebab, bukan sekali dua kali ia alami mimpi buruk.
Entah sudah berapa hitungan waktu, bangun lagi. Melihat sekitar, tempatnya masih di ruang sepetak bertembok kelam. Sebuah bunyi di dalam perut mengajukan tuntutan. Bilamana memang bukan mimpi maka harus segera berbuka puasa, begitu pikirnya. Diarahkannya pandangan pada pintu dengan pertimbangan akan keluar mencari makan, namun tampak olehnya sebuah roti berkemasan di dekat pintu sana, padahal sebelumnya tidak ada. Tergoda olehnya kesadaran untuk mengakui kenyataan bahwa saat ini tidak sedang bermimpi. Alih-alih cemas, disingkirkannya sejenak atas dimana dirinya saat ini dan siapa yang menaruh roti itu.
Ria merangkak pelan menuju makanan itu. Sangat disyukurinya sekali tidak ada tanda cendawan--yang mungkin saja bila memang diculik karena dirinya pencetus kegiatan pengakuran maka bisa saja diberi makanan tidak layak. Tapi kemudian merasakan adanya ketidakmungkinan oleh dirinya yang diculik mungkin seharusnya segera dilakukan pemisahan raga dan nyawa secepatnya, namun saat ini ia seakan dibiarkan melanjutkan napas meski di sebuah tempat sepetak asing. Mungkin masih ada hajat yang akan diutarakan atau dilakukan terhadap dirinya dari para penculik sebelum dipaksakan pindah menuju dimensi selanjutnya? Entah, pertanyaan-pertanyaan tersebut tersamarkan oleh pertanyaan lain mengenai sudahkah saat ini memasuki waktu berbuka ketika mulutnya sedang melumatkan beberapa gigit roti.
Tebersit ponsel untuk melihat jam, namun benar-benar mau berada di posisi mana pun matanya tetap tidak melihat apa pun selain kamera CCTV, lampu, kipas dan pintu, termasuk dirinya yang sangat disyukurinya tidak diikat tali--tidak seperti kasus penculikan yang terjadi di TV. Ria pun termenung, bila benar ia sedang diculik, maka tidak perlu lagi ditebak siapa-siapa orang-orang di balik keberadaannya saat ini. Bila benar, maka sangat menyayangkan, sebab ia baru berbaikan dan berteman dengan Clara di hari terakhir sekolah menuju liburan lebaran--ya masih sempatnya Ria berpikir begitu.
Merasa tidak bisa menebak sampai kapan berada di tempat kelam seperti ini, dan tidak tahulah apakah akan dikirim roti lagi, Ria memutuskan tidak menandaskan untuk dibungkus kembali demi makan esok--meski ia tidak mengerti bagaimana menentukan esok sebab tiada ventilasi yang bisa saja menjadi penanda waktu melalui cahaya matahari yang masuk. Memandangi pintu, merasa tergoda untuk membuka, tetapi rasa takut lebih mendominasi. Serta merta merasakan kembali sesuatu yang menggeliat dari diri saat melihat sosok Iizuka Ayumu sewaktu menengok sang anak lelaki berponi di masa kecilnya, terseret memorinya pada sepuluh tahun lalu. Meraba bekas luka di bibir, terkenang saat Iizuka Ayumu datang menolongnya setelah luka itu tergores.
Tersentak, sesuatu ganjil yang berusaha menggeliat dari dirinya saat melihat Iizuka Ayumu ketika Yuto belum sadar, adalah pernahnya berharapan untuk merasa 'lebih baik' dijahati penculik adik Yuto yang memang nyata penjahat daripada mencintai orang-orang sedarah namun mengungkungnya untuk menjadi sempurna. Atas goresan luka itu, Ayah memarahinya karena tidak seharusnya ke sarang penculikan. Pada mulanya dipercaya sebagai wujud khawatir sebagai orang tua, akan tetapi kemudian dirinya kerap dicibir sok pahlawan, bahkan kerap menerima rupa curiga.
Selalu dikira telah berbuat salah, bahkan bila sekali berbuat salah maka akan selalu diungkit-ungkit sampai esok dan esok-esoknya lagi. Sejak itu, Ria kecil mulai belajar menyalahi diri sendiri. Merasa tidak seharusnya membuat ayah ibu khawatir (meski ayah yang lebih tampak wajah bencinya), dan tidak perlu ke sarang penculikan. Berusaha menjadi penurut, apa mau ayah, didengarkan. Ibu suruh mengaji, menurut. Namun tetap, wajah curiga ayah belum juga beranjak. Dari sana, Ria kecil berjuang supaya ayah melenyapkan wajah mengerikan itu. Karena ibu mengajar agama, maka ditunjukkannya bagaimana ia suka komik kisah Nabi pada ayah. Namun oleh ayah sibuk memanggang ayam dagangan, komik itu dirampas dan dirobek, kemudian dibakar ke pemanggangan ayam. Aksi cari perhatian itu justru membuat si sulung kecil patah hati, belum lagi dikenai umpatan karena ayam panggang menjadi gosong. Padahal memang ayah ketiduran saat mengipas panggangan.
Oleh patah hati yang pertama kali itu, Ria yang saat ini berada dalam ruang penyekapan menjadi termenung. Tidak menyangka, ia pernah alami itu. Namun tetap, waktu itu ia merasa ia telah salah karena bukan momen yang tepat sebab ayah sibuk memanggang ayam--meski jelas sedang ketiduran.
Berusaha mencari perhatian lain lagi, dan berusaha saat ini Ria mengingat apa yang sudah diusahakannya untuk mencari perhatian ayah, namun justru hukuman yang terbayang olehnya. Oleh seringnya hukuman itu diterima, sudah tidak diingatnya lagi kesalahan apa yang telah diperbuat sebagai anak kecil, belum lagi ia selalu percaya bahwa ia memang salah. Dengan gertakan berwajah bengis, segala pakaian selain singlet dan celana dalam diperintahkannya dibuka, sejurus kemudian sabetan lidih membabi buta menggores tubuh mungil itu. Semakin kencang menangis kesakitan, semakin tanpa jeda sapu lidih itu mengeruk darah.
Ria mengerang menutup telinga, merasa bisa mendengar suara lecutan itu saat ini. Padahal ia masih sendiri di ruang penyekapan. Suara lecutan itu memicunya kembali merasakan ketakutan seakan-akan baru saja disabet. Oleh ketakutan disabet, Ria kecil benar-benar berusaha sempurna di mata ayah dan ibu. Berusaha sesolehah mungkin. Jangan sampai ayah marah. Namun, meski sudah berhasil mendengarkan ibu untuk mengaji dan gapai peringkat kelas di sekolah, ia tetap dijadikan bahan keluhan saat para sanak keluarga bersilaturahim--bahkan keluhan yang seharusnya bisa dibicarakan baik-baik dengannya. Pandangan merendahkan pun diterima dari paman, bibi dan para sepupu.
Tersentak kembali oleh sebab diri yang sakit-sakitan, Ria menduga hal demikian disebabkan oleh bilamana mendapati wajah curiga dan amarah ayah, maka enggan makan. Tidur pada mulanya menjadi pilihan untuk memperbaiki suasana hati, namun bergeser menjadi harapan supaya mati oleh rasa lapar. Namun nyatanya selalu bisa bangun dari tidur--yang artinya masih hidup. Ia hanya demam--yang kemudian dialami tiap tahun. Ria yang saat ini pun kembali termenung, tidak menyangka pernah memimpikan untuk mati daripada kerap dicurigai dan dimarahi tanpa diberi arahan bagaimana berbuat yang baiknya.
Berebut para sanak menasihati bahkan memaksanya mengerti untuk tidak menyusahkan orang tua karena malas makan sampai sakit-sakitan. Ria tidak pernah melawan bahkan memberontak. Meski merasa tidak ada yang berpihak padanya, namun ia memercayai mereka yang seakan-akan lebih paham dari pada keadaan dirinya yang sebenarnya, air mata pun diingkarinya, namun tidak sadar bahwa ada rasa ingin memberontak, dan hal itu diluapkan melalui kegiatan persilatan yang diam-diam diikutinya.
Namun tidak, untuk dirinya saat ini kembali tersadar bahwa ternyata akhirnya air mata itu mencair saat Taka mengejarnya seusai anak-anak Taring Bandit menolong setelah kegiatan pengakuran ditawarkan, dan saat bertengkar dengan Aulia. Dengan memeluk kaki dan mata menyalang seolah ada yang terlihat di depan matanya, dirinya tercengang seakan-akan ruangan hitam memberikan sugesti. Nyatanya meski ia ingin menjadi solehah dan penurut, namun ia juga telah berupaya mencari wadah dari luapan batinnya akibat tiada pernah memberontak. Selalu wajah ayah dan para sanak kerabat seakan menjadi bensin bagi bara geramnya saat menghadapi Luky, Yongki--meski gagal, terlebih Aulia.
Ria tercenung. Benar-benar tidak menyangka, bahwa ketakutan akan ayah dan para sanak kerabat lah yang menyebabkannya merasa lebih baik tidak diselamatkan Iizuka Ayumu bila berusaha mendapat perhatian ayah namun tatapan curiga dan tuduhan sembarangan tetap diterima. Merasa bahwa dirinya tidak benar-benar solehah, teringat olehnya ihwal tiga dosa besar, dan urutan pertama adalah durhaka. Kemudian menyeret pula memorinya pada apa yang menjadi masa Kelam Yuto melalui foto-foto masa kelam itu, merasa bahwa Yuto tidak lebih buruk dari dirinya yang durhaka tanpa sadar.