Bentang cakrawala mengelabu. Kepulan asap berarak begitu tebal dangan warna yang begitu pekat. Para wartawan dari berbagai kanal TV saling berebut menyambar apa yang sedang berlangsung, tersingkirkan setelah Satuan Anti Teroris merapat ke titik yang sudah dilaporkan pihak kepolisian yang sedang bertugas. Pertarungan benar-benar berhenti. Tidak ada lagi yang saling menghunus peluru.
Beberapa pihak kepolisian yang memantau lekas berhambur pada sebuah mobil pikap yang berguling-guling seusai terlempar. Mengeluarkan tiga orang di bangku depan. Cukup kesulitan mengeluarkan dua orang di samping kemudi yang salah satunya memeluk salah seorang lain, namun juga bukan hal mudah mengeluarkan pemuda di bangku kemudi yang bertubuh besar atletis.
Yuto meraih kesadarannya ketika merasakan tubuhnya diseret keluar, tidak sadar tadi sedang berpelukan hingga berhimpitan dengan sang gadis masa kecil. Tertangkap oleh pendengarannya berupa sebuah aktivitas si jago merah, lekas ia melepas sepasang tangan kokoh yang telah mengeluarkannya, terkesiap untuk berbalik menuju pabrik, namun beberapa polisi lain menghadang.
Mata sipitnya menyalang tajam pada apa yang tertampil di depan mata. Si jago merah melalap pabrik yang menunggu runtuh itu. Membalikkan badan sejenak, gadis masa kecilnya sedang dikeluarkan, mungkin tidak perlu ia khawatirkan lagi, karena mobil ambulan sudah datang. Dan ia tidak bisa diam saja ketika menyadari bahwa dua pahlawannya masih ada di sana. "MARTIN!!! CLEOOOO!!!"
Dua polisi menahan masing-masing lengannya. Seorang polisi yang lain menahan tubuhnya dengan melingkarkan kedua tangan seperti memeluk dari belakang. Sebab Yuto memaksakan diri ingin kembali masuk, terus menyebut nama dua pahlawannya. "PAK!!! MEREKA MASIH DI SANA!!!"
"Kau tak boleh ke sana!" seorang menegaskan. "Aparat kami akan memeriksa!"
Diupayakan oleh Yuto supaya tenang, namun ia sudah tidak mampu lagi menahan diri ketika didengarnya dari handie talkie polisi bahwa aparat Satuan Anti Teroris yang menggeledah kemungkinan adanya bom melaporkan keadaan di dalam pabrik sangat mengenaskan. Tubuh-tubuh yang tercerai-berai bercampur dengan potongan-potongan tubuh lainnya. Menjadikan sesak semakin merelung, sekali lagi menggaungkan dua nama itu.
"MAAARTIIIIN!!!! CLEEEOOO!!!" Terus berulang-ulang. Seperti itu. Tidak terima. Pihak polisi yang menahan tubuhnya berusaha sekuat tenaga mencegahnya supaya tidak nekad masuk, dan beberapa mengingatkan supaya bersabar. Namun jeritan itu makin pilu, menjadi serak, kian parau, dan tetap memaksakan memanggil seolah-olah dua orang pemilik nama itu akan datang.
Zidan yang sudah sadar dari sejak mendengar teriakan sosok yang sering ia jahili itu, tidak mampu menahan gejolak air mata. Bahkan tidak sempat melihat saudara sekampungnya yang tidak sadarkan diri sedang dibopong ke ambulan. Turut merasa terpukul. Dan detik selanjutnya, oleh sang Yutti yang sudah terbatuk-batuk seperti anak kecil yang sedang tantrum memanggil dua nama, sosok yang tengah rapuh itu pun kalap menuju ketidaksadaran diri kembali. "Yutti!" ia berseru menghampiri, mengikut untuk masuk ke ambulan saat cowok gingsul itu akhirnya dibopong ke ambulan, bersama Ria yang sudah lebih dulu.
Mobil kebakaran tiba. Para petugas harus cepat mengerti untuk bekerja di titik mana yang harus menjadi pekerjaan mereka. Siaran langsung ke seluruh pelosok negeri. Akan terus memberita hingga esok dan esoknya lagi, menyingkirkan berita arus mudik balik lebaran.
>>><<<
Misi penggerebekkan telah berhasil. Beberapa titik keberadaan Johnny dan orang-orangnya sudah diringkus, dan mereka akan mendekam di balik jeruji besi tahanan. Akan tetapi sebuah ledakan telah terjadi di sarang penculikan, diduga bukan disebabkan oleh bom. Melainkan dari seseorang yang diduga Martin yang membawa tabung oksigen, kemungkinan benda itu dijadikan sebagai senjata. Oleh ledakan gas yang bahkan oleh tekanannya memutilasi manusia sekitar, mengenai arus listrik menjadi konsleting yang memicu kebakaran besar terjadi. Pertarungan di depan pabrik terhenti seketika, mereka terlempar, pun kendaraan-kendaraan di dekat termasuk kendaraan yang akan keluar dikendarai Zidan.
Mata Yuto sudah sembam menonton tayangan berita itu. Pandangannya kuyu. Tersandar di dinding sedang duduk di ruang tunggu setelah siuman di ruang IGD--yang untungnya bukan rumah sakit sebelumnya telah melayangkan ancaman penolakan padanya. Tidak ada luka yang berarti di tubuhnya, selain bekas luka tembak yang rupanya bisa mengering sendiri bila mau bersabar. Hanya hatinya yang terluka. Gadis masa kecilnya selamat, meski hampir masuk ruang ICU karena asam lambung yang berlebihan mengenai paru-paru, namun sang sahabat dan gadis albino tidak selamat.
Yuto merutuk Stella di dalam hati. Ingin mengumpat 'perempuan siluman', namun sudah terbatuk terlebih dulu. Termenung suram seperti menanti hukuman mati. Beranda-andai saat gadis Indo itu menampakkan diri ketika Yuto membawa Ria keluar, pistol di saku celananya seharusnya secepat mungkin menembuskan peluru ke kepala Kutilang Bule itu. Memang tidak meronta-ronta melihat gadis masa kecilnya akan ditembak sebagaimana di dalam mimpi, namun ia sungguh meronta-ronta bagai bocah yang sedang tantrum melihat pabrik baterai yang sudah tidak lagi berbentuk dan menggugurkan dua pahlawannya.
Zidan berjarak satu bangku di sebelahnya, merasa tidak sampai hati, meski mata Yutti-nya sudah tidak bertaut dengan tayangan berita. Berjingkat ia menemui petugas di ruang tunggu IGD, meminta TV dimatikan.
"Gua bunuh lu saat ini juga!" Dengan suara seraknya, Yuto menunjuk si 187 senti itu, terbatuk, kemudian tertunduk ke sekian kali tidak mampu membendung airmata yang menjalari sebagian parasnya. Lekas si Monas Padang berbalik, merengkuh si 178 senti yang diyakini tidak bermaksud ingin membunuhnya.
Tidak ada lagi lelucon bagi si Monas Padang itu yang juga berurai air mata--sudah tidak mampu melarang Yutti-nya itu untuk tidak lagi menonton TV.
"Yuto-nii," sebuah suara memanggil.
Yuto menarik dirinya dari rengkuhan si jahil yang sebenarnya selalu ada untuknya di saat terpuruk, ada kesan keraguan saat manik matanya memandang remaja itu. Ia mengucek mata, kembali sepasang bola matanya basah.
Marius berhambur memeluk abang sepupu tirinya.
>>><<<
Hembusan napasnya berangsur-angsur memulih. Pun kondisi jantung yang rupanya sempat alami gangguan kecemasan. Dua dokter menangani, dokter penyakit dalam dan dokter jantung--memaklumi kecemasan apa yang tengah dialami. Namun bukan kecemasan yang sudah diduga para dokter yang benar dialami. Tetapi, ia memutuskan untuk tidak berterus terang atas ketakutannya selama dalam penculikan. Hari ketiga telah bisa melepas selang oksigen, ia hanya bisa mensyukuri bahwa tubuhnya masih bisa normal kembali, meski asam lambung masih belum pulih yang ditandai dari rasa mual yang belum hilang. Demam dan pusing tak terkira sudah berkurang.
Tidak sedikit pun air mukanya bergeser untuk menunjukkan suasana hati yang lain. Berusaha menjaga rasa syukur atas ditempatkannya dirinya di ruang seperti ruang anak lelaki berponi di masa kecilnya diopname--dibiayai Iizuka Ayumu sebagai wujud permintaan maaf meskipun orang-orang Jepang itu tiada bersalah sedikit pun padanya.
Pintu kamar inap diketuk, tidak perlu ditebak lagi siapa. Itu ibu yang menjaganya selama di rumah sakit--sementara ayah di rumah sakit lain (yang 'apa boleh buat' bagi Lukman) menjaga si bungsu.
"Ria, udah dimakan buburnya?" Ibu yang baru saja membeli tiga botol air minum, menaruhnya ke atas lemari kecil berbahan aluminium dekat ranjang, memandang sarapan yang tertinggal suir-suiran ayam. Dipandanginya putrinya, merasa tidak perlu bertanya kenapa suiran ayam itu tidak dimakan, karena memang sulungnya tidak menyukai daging ayam. "Di luar ada tiga anak cowok mau nengokin. Izinkan masuk gak?"
"Siapa?" Ria menoleh.
"Yuto, Ammar, dan... Sugi..."