Tercekat. Tergugu. Tanpa menyela mendengarkan semua rangkaian penyebab julukan si Muka Datar itu terbentuk. Tanpa jeda dengan ragam kejadian digamblangkan secara transparan. Satu kejadian tiba-tiba berpindah ke kejadian lain. Kembali lagi ke kejadian yang sudah diceritakan, lanjut lagi pada kejadian baru lagi. Benar-benar gadis masa kecilnya menguras segala memori masa kecil.
Berawal dari kekhawatiran ayah yang berlebihan, menorehkan luka pada Ria kecil. Segala upaya mencari perhatian dilakukan, namun sumpah serapah tetap tertuai. Merasa sakit hati karena selalu dijadikan keluhan, Ria kecil pun membenci kodrat sebagai perempuan karena merasa diri yang sensitif. Mengalami kepuasan dalam berkelahi seraya tanpa sadar membayangkan ayah dan sanak keluarga, namun pada akhirnya pencak silat yang diikuti diketahui ayah yang kemudian menyeret--meminta berhenti.
Hampir sepekan dalam penculikan orang-orang Johnny, semua rentetan hukuman masa kecil terpampang dalam lintasan benak. Merutuk Iizuka Ayumu yang seharusnya tidak menolong bila selamat hanya untuk menerima amarah yang bahkan Ria kecil lebih membutuhkan tuntunan ketimbang tuntutan. Ruang penyekapan adalah 'ruang interogasi' bahwa ia bukan anak baik-baik, sebab ia pernah berpikir bunuh diri dan pemberontakan pada ayah serta sanak keluarga.
"Kamu pernah bilang kamu pengen ketemu aku untuk luapkan apa-apa tentang orang tua kamu, aku juga begitu! Sama kayak kamu, aku juga pengen ketemu kamu. Makanya aku juga suka pelajari bahasa Jepang, dan hafalin lagu Jepang. Dan aku gak nyangka kita benar-benar ketemu, benar-benar semua kuungkapkan ke kamu! Aku nyesel! Gak seharusnya kita ketemu! Karena kamu pasti akan kecewa sama aku! Bahkan semua! Maka dari itu gak seharusnya Martin nolongin aku! Aku ini jahat! Aku gak berguna bagi Ayah dan Ibu, pun Debby!" Naik turun napas gadis itu menggamblangkan semua bentuk ruang batinnya. Membulatkan mata seakan menekankan bahwa ia memang tidak pantas untuk siapa pun.
Yuto memang tidak menyangka dengan apa yang didengarkannya, termenung oleh kalimat 'Gak seharusnya kita ketemu!'--yang semestinya keluar dari lisannya untuk sang gadis masa kecil. Menahan perih dengan pandangan kosong. Oleh setiap rangkaian yang ia dengar, sangat merasakan bahwa Ria tidak bermaksud menipu. Sebab umpatan dari TPA, cari perhatian baca komik Nabi, siapa yang tidak patah hati ketika Ria kecil butuh cinta namun ayah marah selalu disebut wujud cinta oleh ibu--yang menyelamatkan Ria dari amukan ayah.
"Maka mungkin sangat wajar bila Debby tidak akan pernah jadi temanku... karena aku jahat... seharusnya aku gak berharap dia jadi sahabatku... dia udah kasih tanda-tandanya! Tiap tahun aku sakit, gak pernah ditengok dia--kecuali waktu bareng Taka dan Alya! Bikin aku iri sama kamu punya Martin dan Zidan. Aku gak layak kalian selamatkan!"
"Tidak begitu, Ria!" Yuto tetap berusaha berkata hati-hati. Menahan desakan di bawah mata. Merasakan bahwa nyatanya Ria-nya lebih memprihatinkan daripada Luky dan Lukman yang memberontak, oleh tiada wadah menumpahkan rasa sebagaimana dirinya saat di masa kelam yang menyesap segala wadah batin namun tetap merasa hampa.
"Lagu yang kubuat untuk anak-anak Silver Cool itu sebenarnya curahan hati aku terhadap orang-orang sedarah denganku, dan mereka di zaman SD aku yang ejek aku sebagai 'si padang'! Tapi tetap gak ada kepuasan buatku! Aku benci kalau aku sudah sakit hati! Untuk itu aku ingin jadi laki-laki!" Lagi, Ria mengulang dirinya yang ingin menjadi laki-laki supaya ada sugesti kuat bilamana sakit hati oleh siapa pun.
"Ria, laki-laki bukan simbol kekuatan! Mereka juga manusia!"
"Iya, itu kesalahanku... dan Debby gak ngerti itu! Padahal aku butuh dia supaya aku tau kalau aku boleh punya teman meski seburuk apa pun aku. Tapi dia bahkan tidak menyimpan nomorku dengan menambahkan 'BFF' yang singkatan dari 'Bestfriend Forever' seperti beberapa kontak lainnya, padahal dia bilang hanya curhat ke aku! Aku pikir, aku punya saudara walau tidak sedarah, tapi ternyata aku bahkan tidak pernah disebutnya sebagai teman kayak kamu dan anak-anak Silver Cool! Artinya, untuk apa aku kembali?! Ayah nanti akan datang, aku takut dengan wajahnya yang akan memandangku sebagai beban! Ah, tidak, bahkan aku tidak seharusnya mengira anak-anak Silver Cool adalah teman-temanku! Mereka pasti ngira aku anak baik-baik! Mereka harus tau aku! Kalian pasti akan meninggalkanku seperti Debby yang tidak menganggapku teman meski tiap naik kelas selalu sebangku!"
"Tidak, kamu tidak boleh katakan pada mereka--anak-anak Silver Cool! Aku juga tidak akan tinggalkan kamu, pun anak-anak Silver Cool!"
"Tapi aku jahat! Buruk! Durhaka! Kamu pasti akan meninggalkan aku! Dosa aku lebih berat dari dosa kamu yang di foto-foto itu! Kalau kalian mengira aku baik karena jilbab, aku akan lepaskan..."
"... Tidak, Ria! TIDAK! TIDAAAAK!!!" Yuto sudah kepalang geram namun airmatanya menggenang, memukul ranjang Ria. Menatap tajam namun juga pilu. "Cukup... Kamu gak boleh sesali Ayah aku yang menolong kamu sepuluh tahun lalu. Kamu juga gak ada salah sedikit pun atas kematian Martin dan Cleo! Kamu tidak jahat, Ria. Aku tidak akan membiarkan kamu ungkapkan bagaimana buruknya kamu ke anak-anak Silver Cool... mereka sudah menyayangi kamu seperti adik! Dan bukan porsi kamu untuk menjadi sempurna! Masing-masing kita punya kekurangan!"
Berdenging telinga Ria mendengarkan itu. Kata-kata yang pernah didengarkannya dari kakak mentor Rohis setelah diadili Paman yang merupakan kakak laki-laki ibu atas suatu kesalahpahaman. Dan ia terdiam, satu kepalan tangannya menekan mulutnya. Kembali merasa rindu pada lingkungan Rohis yang membuatnya terpaksa ditinggalkannya padahal dirinya terselamatkan oleh lingkungan tersebut. Tak terbendung lagi memecahkan tangis ke sekian kali, dan kemudian masih ingin meledakkan segala ruang batinnya yang terpendam. "AKU TETAP TAKUT AYAH! AKU GAK MAU KETEMU AYAH!!! MARTIN DAN CLEO TELAH SALAH MENOLONGKU! AKU GAK MAU KETEMU AYAH! HEAAAAAAARRRGGHH!!!" Meraung ketakutan Ria mencengkeram kepalanya sendiri seakan-akan ledakan beruntun tengah didengarnya.
Oleh dorongan dari sekelebat pertengkaran sang gadis masa kecil dengan Aulia, Yuto sebagaimana Alya membenamkan gadis yang mulai meronta dan menggeram itu menarik tubuh mungil itu ke dalam pelukannya. "Cukup... Ria! Hentikan!"
"Aku sudah mencoreng kepercayaan Ayah supaya tidak lakukan hal lain selain belajar saja... Benar kata adik Ayah, aku anak sial...!!!"
"Tidak semua omongan orang dewasa kita terima dan telan mentah-mentah, Ria!" Yuto kian mengeratkan pelukannya. "Mereka juga manusia biasa. Tidak semuanya mereka benar, dan kita selalu salah... tidak, usia lebih tua tidak menjamin tahu segalanya terhadap yang lebih muda!" Yuto benar-benar membenamkan wajah gadis-nya ke dada bidangnya. Kepalanya yang semula menumpukan dagu di atas kepala Ria, menurun ke bahu dengan pendengaran yang beradu.
Mereka hanyut lebur satu sama lain. Sama-sama merasa seakan-akan kembali ke masa kecil di saat mereka belum baligh. Yuto membayangkan dirinya memeluk sang gadis masa kecil yang baru saja dikenai luka oleh penculik adiknya hingga bekas luka di bibir itu terukir. Sementara Ria, merasa bahwa inilah yang ia rindukan dari ayah dan ibunya--terutama ibu yang seharusnya memeluknya bila dikenai amarah ayah, bukan malah meski dibela dan kemudiannya tetap disalahkan walau dengan nada lembut.
"Ayah... Ibu...," ratap Ria dengan intonasi yang rendah hampir tidak terdengar, perlahan-lahan tangannya menggantung melingkar ke atas bahu Yuto, seolah benar Yuto adalah ayah dan ibunya yang menjadi satu orang. "Ria gak ada maksud mau nyusahin Ayah Ibu... Ria sayang Ayah Ibu... juga Lukman..."
Sebuah kecupan mendarat ke belakang telinga gadis itu yang tertutup jilbab. Yuto mengusap pula kepala gadis masa kecilnya. Hampir membisikkan janji untuk tidak meninggalkan--persetan untuk Taka bahwa memang ia mencintai sang gadis masa kecil--namun urung dikatakan sebab perbuatannya sedang menjadi tontonan.
>>><<<