Mereka adalah wajah-wajah yang tidak terduga. Tidak bisa disimpulkan bentuk kalimat apa yang pantas menggoreskan rupa hamparan batin. Air mata yang selama ini dituding sebagai bentuk emosi tak berdaya, kini menghantam bendungannya untuk mengalir. Padahal baru selesai menderai dan berharap tidak ada yang bisa melihat jejak di sepasang netranya, namun kembali lagi harus menderas. Ria pun menunduk, sebelah tangan tepatnya pada sikutnya ia menyembunyikan wajah. Jurina mengizinkan para gadis yang diantaranya berjilbab panjang dan lainnya masih berkerudung sepakainya untuk mengelilingi sang pusat perhatian.
Tiga diantara sembilan dari mereka sudah tidak tahan hanya mengikuti kabar yang menghebohkan tanah air tanpa berbuat apa-apa. Dari anak-anak Silver Cool yang mengatakan bahwa Rohis adalah sesuatu yang berarti bagi teman perempuan mereka, maka tiga gadis itu mendesak Debby supaya diizinkan bertemu sang kakak pembina ta'lim mereka yang disebut murobbiah. Meski sudah diberi tahu Debby terkait berhentinya Ria menjadi anggota Rohis, namun bergantian tiga gadis itu menceritakan kembali bahkan diikuti roman wajah mengiba yang mendukung pada sang murobbiah. Membutuhkan pemaafan untuk Ria, lalu meminta diizinkan ikut serta dalam ta'lim melingkar. Sang murobbiah dan para menti pun menerima, terlebih tiga gadis itu menyatakan ingin pula bertaubat meski masih belum berjilbab seperti lainnya--dan masih ada yang menyandang status pacaran. Dan demi menjaga kondisi Ria yang takut pada sang ayah, anak-anak Silver Cool tidak berani datang menengok, selain juga karena segan bila pergi bersama para anak Rohis, maka sebuah buket seakan-akan dari sang kekasih untuk sang pujaan, tiga gadis itu membawakan dari mereka, tidak lupa vas bunga--dan sebotol air mineral dengan maksud supaya bunga bisa hidup dalam vas, yang tentu menjadikan seruangan dikungkung tawa oleh leluconnya para anak-anak Silver Cool.
Ada rasa segan oleh Ria karena tiga gadis itu menceritakan ihwal anak-anak Silver Cool, sementara dari Rohis diketahuinya bahwa pertemanan lawan jenis harus dipagari bentang dari diri, karena dikhawatirkan akan memicu rupa merah jambu dari hati dan berisiko adanya interaksi khusus yang disebut pacaran. Namun Ria tidak berani mengakui itu pada kakak murobbiah-nya untuk bertanya apakah ia sudah salah--meski tidak ada ikatan merah jambu pada anak-anak Silver Cool namun sepertinya sudah terkuntum samar saat bersama Yuto. Hampir saja lamunan menguasai raut wajah itu, ketika menyadari bahwa ada Debby diantara para gadis di sekitarnya. Tidak, teringat apa yang telah ditorehkan lisannya pada sang anak lelaki berponi di masa kecilnya, ia tidak ingin lagi menaruh harap pada si jelita bermata bulat ini.
Basa-basi saling bercerita kabar masing-masing memenuhi ruangan. Beberapa mengupas buah tangan. Dan selalu, kalau bukan Poppy maka Kiki yang akan memicu derai tawa, dan Alya selalu mengingatkan untuk jaga suara supaya tidak diketahui perawat--karena mereka telah melanggar aturan untuk masuk berbanyak orang ke satu ruangan meski ruangan itu hanya dinetapi seorang pasien. Bagi Ria, benar-benar masanya berseri-seri setelah sebelumnya takut-takut bilamana para orang sedarah seperti Bibi, Paman, dan para sepupu yang akan menengok dengan tidak hanya membawa buah tangan berupa buah namun juga berupa wejangan bernada marah--meski mengaku tidak marah--yang dibawa mereka.
"Cepat pulih ya," Nimas, sang murobbiah yang sudah lulus dua tahun diantara para gadis meletakkan telapak tangannya pada punggung tangan kanan Ria. Tatapan itu tidak berubah, tatapan yang menjadi salah satu diantara beberapa anggota Rohis perempuan yang memurahkan sentuhan dan genggaman bahkan pelukan sebagai bentuk cinta, tidak seperti orang-orang sedarah yang bahkan menyebut pelukan sebagai wujud memanjakan. Padahal makanya sempat disebut oleh Ria bahwa Rohis adalah 'surga', sebab di sana lah ia baru tahu apa itu cinta dan kasih sayang sebagai saudara meski tidak sedarah. Dari sana pula ia merasa dirinya ada. Tidak ada tatapan curiga pada masing-masing anggota, selain hanya wajah berseri menyapa ramah bila berpapasan.
Ria hanya menanggapi dengan lengkungan berlesung pipitnya. Rasa segan karena kembali dihargai sebagai yang ada, membuatnya tidak bisa menenun kata. Seakan-akan sedang diterbangkan oleh sang kekasih. Memang berlebihan, tapi memang demikian perasaannya oleh merasa berharganya dirinya dalam lingkup Rohis. Terutama Nimas yang seperti kakak kandung baginya--ya seharusnya begini, bukan justru menaruh harap pada Yuto yang bukan mahram (ada sesal atas pelukan tadi namun ia sungguh sudah tidak mengerti lagi). Terpikir apakah Nimas atau salah satu dari sembilan orang itu akan menantikannya kembali dalam lingkup taklim melingkar yang disebut liqo' (salah satu kegiatan Rohis), namun sampai ujung momen mereka hanya saling melempar pandang sebelum pamit. Mungkin segan bicara karena ada Jurina--meski tengah bicara dengan Lukman.
Ria merelakan mereka kemudian benar-benar keluar dari ruangan. Setidaknya ia harus berterima kasih pada Debby--meski tiga cewek yang membujuk gadis bermata bulat itu untuk menengoknya di rumah sakit. Menuju kepulihannya untuk keluar dari rumah sakit, ia sudah memiliki penawar bila para kerabat datang dengan 'wejangan' mereka. Meski tidak bernada amarah pun namun sudah terlanjur dihantui ketakutan oleh nada marah, vas bunga yang sudah diisi bunga dari buket pemberian anak-anak Silver Cool menjadi penawar batin tegang hanya dengan memandangnya. Ayah pun, di hari selepas para gadis itu pergi tidak menunjukkan rupa marah sebagaimana yang menjadi ketakutannya. Mungkin memang sudah berlebihan, namun memang ia benar-benar takut bila wajah bengis sewaktu kecil dilihatnya akan kembali menghunus batinnya disusul serangan supaya terus selalu merasa bersalah yang memicu penghujatan pada diri. Sempat tebersit ingin bertanya apakah dirinya telah membikin khawatir dan masalah lagi kah, namun rupa seakan-tidak-mau-diganggu dari ayah tidak menjadikan pertanyaan itu terlontar.
Baru ketika memulai hari pertama sekolah dengan debar di dada oleh syukur atas kasus yang belakangan ini terjadi hingga menimpa dirinya, ibu menghampiri dan mengatakan bahwa ayah mengizinkan Ria ikut kembali pada ta'lim melingkar atau yang disebut dengan nama liqo'.
"Beneran, Ia?!" tanya Kiki setelah menurunkan Ria dari motor. Hari pertama setelah libur idul fitri, ia telah mengirimi pesan untuk datang ke rumah dan pergi ke sekolah bareng.
"Iya," Ria tidak melanjutkan bahwa ibu juga bilang bahwa kembalinya Ria pada liqo' harus disembunyikan Mande yang sangat getol ikrarkan kebencian pada tindak-tanduk anak Rohis--diketahui karena Mande merupakan mantan anggota dari organisasi agama yang lebih tinggi dari Rohis dan melihat perangai beberapa anak Rohis yang menjadi anggota organisasi tersebut hanya aktif organisasi namun lalai pada kepatuhan terhadap orang tua, kemudian menyamaratakan semua anak Rohis demikian. Namun bukan hanya perihal demikian, Ria juga hampir termenung karena dari ibu pula dikatakan bahwa Yuto yang berterus terang ihwal apa yang sudah diketahui anak-anak Silver Cool antara Ria dengan Rohis.
"Kebetulan lainnya pada kangen sama kamu buat ngumpul bareng."
"Beneran?" Ria merasa harapannya bersambut, namun binarnya memudar karena teringat dirinya yang kerap bersama para anak Silver Cool--belum lagi 'tentang' Yuto. "Tapi anak-anak apalagi kak Nimas udah tau aku main sama anak cowok..."
"Ya ampun, kamu main sama anak cowok, bukan main cowok kayak aku." Kiki membuang muka berlakon guyon seperti waria. "Mereka pasti mengertilah! Apalagi orang kayak kamu yang gak ada nakal-nakalnya! Tapi pasti mereka akan ajak kamu biar lebih baik temenan sama sesama jenis aja, eh tapi kalau naksir harus sama lawan jenis ya! Hihi!"
Ria mengangguk paham, dan paham juga sesama jenis mana yang tulus pada dirinya. Salah satu dari tiga yang ada di benaknya adalah si sesama jenis di depannya kini. "Makasih dah jadi teman aku..."
"Eh?" Kiki gelagapan, grogi oleh tatapan polos berterima kasih itu. Merasa seharusnya ia yang berterima kasih karena dirinya kerap genit pada lawan jenis tapi seperti tidak dipandang demikian oleh gadis berjilbab di dekatnya itu.
"Weh! Ia!" Rafael yang baru masuk melewati parkiran siswa-siswi menyapa. "Bakal syukuran kita akhirnya lu keluar juga dari rumah sakit! Hahay! Gimana perasaan lu sekarang? Jangan takut ya. Kita akan dukung lo! Ada mantan geng Bullet, Taring Bandit, Taring Tengkorak, Tanduk Api, Tanduk Kebo, sampai Silver Cool!!!"
"Alay sumpah, gak ada nama-nama geng itu, somplak! Neg gua liat elu! Sejak kapan Silver Cool jadi nama geng!" guyon Kiki. Ia lalu menggandeng Ria, diikuti Rafael yang bertanya bagaimana dengan buket bunga darinya yang berkolektif dengan anak-anak Silver Cool lainnya.
Terdengar suara pengumuman dari seorang guru untuk para siswa-siswi dari masing-masing kelas supaya keluar dan berkumpul di lapangan untuk menjalanai hal bihalal. Suatu kabar gembira bagi para anak lelaki yang mungkin belum sempat atau lupa mencukur bebuluan halus di wajah dan rambut yang menyentuh tengkuk dan telinga serta mudah dicengkram, tentu hari halal bihalal tidak akan ada kegiatan belajar mengajar dan razia rambut. Ria yang belum sempat ke kelas, digandeng Kiki ke taman karena keyakinan dari gadis keturunan Jepang itu pasti akan ada barisan mengular untuk halal bihalal. Rafael pun mengikuti. Namun dugaan itu salah ketika salah seorang guru yang lebih dulu keluar dari ruang guru memperingatkan dengan toa supaya seluruh siswa-siswi berbaris sebagaimana upacara bendera.
Riuh keluhan terdengar. Akan tetapi kemudian mengerti ketika seorang pria berpakaian polisi turut di antara para guru berada di barisan horisontal menghadap para siswa. Setelah pembina upacara berpetuah terkait anak muda, polisi yang merupakan Pak Gilbert itu melanjutkan, menunjukkan rasa prihatin atas beberapa siswa yang turut menjadi korban ledakan di pabrik baterai. Bendera setengah tiang pun dikibarkan selepas menyatakan belasungkawa atas kematian Martin, Cleo dan beberapa aparat kepolisian yang berjuang. Beberapa siswa-siswi yang menyayangkan insiden tersebut pun tidak mampu menahan air mata.
Sungguh tidak ada yang tahu bahwa Martin melakukan misi penyelamatan memang karena sang gadis. Marius di hari itu, dia memaparkan semuanya.