Kiwi Berlumuran Cokelat Beku

Gia Oro
Chapter #9

Kiwi Berlumuran Cokelat Beku

Hampir tidak berkedip matanya melihat dua hiasan dinding di rumah ini, kaligrafi kalimatullaah menghiasai dinding ruang tamu. Berhadapan dengan dinding seberang yang memajang gambar Makkah. Ria sudah kembali duduk di ruang tamu, setelah sebelumnya Bibi Ratri menyarankannya untuk beristirahat sampai terlelap di kamar anaknya yang masih TK--saat itu belum pulang. Ia tidak pingsan, hanya memang sangat kelelahan, bahkan meski menyadari ada yang mendekat, ia tidak bisa lagi membuka mata meski kesadarannya belum hilang.

"Hanya mereka yang muslim," Yuto berkata tanpa ditanya sedikit pun, ketika Paman Lionel sedang menemui ketua RT di teras. Pandangan gadis itu terhadap kaligrafi dan gambar Makkah, meyakini Yuto bahwa gadis itu memiliki pertanyaan seperti yang diduganya.

Dan ya, Ria menaikkan kedua alismatanya sebagai pengganti 'oh begitu' dari mulutnya. Merasa tidak nyaman berada di rumah laki-laki, meski sebenarnya adalah rumah kerabat laki-laki, terlebih si laki-laki adalah incaran para gadis di sekolah, dan bahkan memiliki pacar yang sekelas dengannya! Belum pula, terlelap meski sesaat di kamar sepupu si siswa incaran para siswi gatal ini!

"Paman Lionel adik tiri Ibuku. Karena muslim, maka keluarga tidak ada yang mengakui. Aku menemuinya pun diam-diam."

Ria mengejap-ngejap mata dengan pandangan menunduk seolah mengisyaratkan bilang 'oh begitu' lagi, namun sebenarnya heran kenapa dan untuk apa ia diceritakan hal itu oleh pemuda yang sebelumnya tidak ada interaksi apa-apa dengannya selain apa yang sudah terjadi hari ini?

Yuto menyadari situasi ini. Gadis itu sedikit pun tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Menyadari, bahkan sebenarnya belum ada ritual untuk saling berkenalan.

"Nah, bagaimana kepala kamu? Sudah mendingan?" tanya Paman Lionel setelah urusannya dengan ketua RT sudah selesai--dan ketua RT sudah pergi. Gadis yang satu sekolah dengan keponakannya itu memegang kepala, belum sempat menjawab, Paman Lionel duduk di sofa, mendahului berkata, "tapi kenapa pula dua pengamen mengejarmu ya?" Ia sudah dijabarkan tentang apa yang sudah terjadi.

Ria hanya menarik sebelah ujung bibir, terlihat sangat sungkan sekali mengeluarkan beberapa kata. Merasa takut pada kebaikan, meski sempat terenyuh oleh Bibi Ratri yang telaten menangani luka di tangannya dan memeriksa bagian kepala mana yang sakit. Ia merasakan pijatan hati-hati itu. Tidak ada ibunya seperti itu.

"Hey? Apa yang kau pikirkan, nak?" Paman Lionel memandang heran Ria. Ia lalu memandang jam dinding. "Apa rumahmu jauh?"

"Ah... nggak tahu..."

Yuto yang akan menikmati satu suguhan di meja, urung memasukkan ke mulut, memandang gadis itu dengan heran, sebagaimana Paman tirinya memandang saat ini.

"Aku tadi salah naik kendaraan," Ria berusaha memperjelas ketika mendapati wajah-wajah heran itu.

"Salah naik kendaraan?" bersamaan Yuto dan Paman. Saling melempar pandang, menahan senyum karena berbarengan.

Ria juga menahan senyum, sebelum kemudian melanjutkan, "ya, tadi sebenarnya mau belajar, tapi malah diajak temen ke kafe...," sampai di sini ia berhenti, karena kelanjutan ceritanya adalah Lukman yang kebut-kebutan. Diangkatnya pandangannya pada jam dinding, ia harus memastikan adiknya sudah di rumah. "Maaf, makasih dah tolong saya. Mungkin Ayah saya sedang cemas. Kami tidak punya hp untuk saling berkabar."

Yuto menggigit bibirnya dengan wajah yang seperti menimbang-nimbang sesuatu dalam benaknya. "Aku juga mau pulang deh," katanya pada Pamannya.

"Bareng? Oh, yaudah. Lagi sakit juga kan kamu, ehm... Siapa?"

"Ria," Yuto yang menjawab untuk Ria.

"Ah, Ria. Tapi kalian jangan dekat-dekat! Tapi pastikan jangan salah naik kendaraan lagi. Banyak tugas sekolah ya sampai salah kendaraan? Hihi..."

"Yuto-nii!!!" Ismail si sepupu tiri tiba-tiba keluar, ternyata susah juga ibunya melelapkannya. Ayahnya lantas ke kamar putranya, dan sesuai dugaannya bahwa justru istrinya yang tertidur. "Abi, Mail jalan-jalan ya sama Yuto-nii?"

"Tidak untuk saat ini, Mail. Ada kak Ria yang tidak tahu jalan pulang. Yuto-nii harus mengantarnya."

"Abi... Ikut..."

"Kak Ria sedang sakit. Lain kali saja ya."

Ismail mengkerutkan bibir, kemudian berhambur memeluk lutut abang sepupu tirinya. "Ke sini lagi ya."

Yuto mengangguk senyum, mengusap-usap kepala adik sepupu tirinya itu. Melempar pandang pada Ria mengisyaratkan untuk saatnya pamit. Paman Lionel mengingatkan supaya seorang perempuan berjalan di belakang laki-laki, sebab bukan mahram.

Begitu rumah Paman Lionel sudah jauh dari pandangan, Yuto merasa tidak nyaman berjalan tanpa adanya pertukaran topik. Ia baru menyadari bagaimana orang-orang di sekolahnya yang berusaha bicara padanya tapi ia hanya diam--kalau tidak ada pertanyaan. Belum lagi, seumur hidup ia tidak pernah menemui gadis yang seolah-olah kehadirannya tidak ada karena saaangat diam.

Teringat sang gadis masa kecil, sungguh sangat berbeda sekali antara Ria dengan gadis masa kecilnya yang begitu cerewet padahal bahasanya saat itu tidak dimengerti--karena saat itu Yuto belum belajar bahasa Indonesia sampai mahir seperti sekarang.

Ah benar juga!

Yuto menyadari sesuatu atas apa yang dibawanya di dalam tas, yang sebenarnya untuk Ismail namun lupa karena khawatirkan Ria. Ia lalu menghentikan langkah, perlahan-lahan membalikkan badan untuk pertama kalinya sejak berjalan di depan gadis itu.

Gadis itu yang dengan bersyukurnya bagi Yuto, masih berada di belakang, memandang dengan wajah bingung. Dan entah kenapa terlihat... menggemaskan. Tetapi menjadikannya lupa untuk apa membalikkan badan, sang gadis pun tetap juga dengan wajah bingung menggemaskannya tanpa bertanya 'ada apa?' atau 'kenapa berbalik?'.

"Baiklah, aku mengaku!" kata-kata ini yang justru keluar dari mulutnya.

Ria masih terpaku diam. Kenapa pula cowok ini, begitu kira-kira terjemahan dari wajahnya. "Ada apa?" pertanyaan yang terlambat!

Lihat selengkapnya