Hari semakin sore. Langit yang tadinya cerah perlahan tertutup awan gelap. Hembusan angin yang cukup kencang membuat dahan-dahan pohon besar saling bersentuhan, bagaikan menari dalam keheningan. Suara deru mobil berhasil memecah kesunyian di antara jalan desa yang kecil.
Mobil sedan keluaran 90an itu berhenti disalah satu halaman rumah. Sebuah hunian yang terbilang mewah jika dibandingkan dengan rumah warga yang notabennya adalah bangunan sederhana dengan cat yang hampir pudar.
Kalila membuka pintu mobil, mengeluarkan koper dari kendaraan berwarna coklat tua tersebut. Matanya beralih pada rimbunnya pohon besar di halaman luas tersebut. Suara kicauan burung yang sedang beterbangan seolah menyambutnya di tempat ini. Gadis itu tersenyum sekilas lalu bergegas menghampiri rumah besar itu karena angin mulai kasar mengacak-acak rambut panjangnya.
Kalila menghentikan langkahnya. Bola matanya yang sipit mendapati seorang perempuan paruh baya tengah duduk di bangku panjang berbahan rotan. Perempuan itu langsung tersenyum begitu melihat gadis dengan almamater berwarna merah maroon tersebut. Kalila ikut tersenyum. Gadis yang rambutnya selalu diikat asal itu masuk perlahan ke beranda rumah. Perempuan dengan kerudung panjang berwarna krem tersebut bangun dari duduknya. Kalila menghampiri dan langsung mengambil tangan kanan perempuan itu kemudian menempelkannya di dahi.
“Assalamualaikum Ibu.” Meskipun tampilan Kalila cuek, namun bersikap sopan nomor satu baginya.
Perempuan paruh baya tersebut masih menampilkan senyum pada wajahnya yang lembut. “Waalaikumsalam. Ini yang namanya siapa ya? Ibu baru lihat sekarang,” tuturnya kemudian.
“Kalila, Bu.” Remaja berpenampilan boyish itu segera memperkenalkan diri. “Iya Bu. Maklum aja soalnya saya baru bisa hari ini datang ke desa.” Ia lanjut menjelaskan alasan kenapa perempuan tersebut merasa baru melihatnya.