Dasar laki-laki jutek. Itulah kesan pertama yang menempel di benak Kalila. Ya, tepatnya beberapa hari sebelum kegiatan KKN dimulai. Hari dimana pembagian kelompok dilaksanakan, totalnya pun mencapai puluhan. Kalila sendiri terdaftar di kelompok tujuh belas.
Gadis berusia dua puluh satu tahun itu mengitarkan pandangannya, sambil sesekali jemarinya yang lentik menyentuh layar ponsel dengan casing silver. Ia mengerutkan dahinya, lalu berjalan pelan ke arah kiri, mencari-cari sekumpulan mahasiswi yang katanya berada di kursi dekat jendela. Ia mengerjapkan matanya sekali lagi untuk kembali memastikan. Gadis itu akhirnya menyunggingkan senyum ketika mendapati seseorang melambaikan tangan ke arahnya.
Kalila mendekat menuju sekumpulan mahasiswa serta mahasiswi yang sama-sama mengenakan almamater seperti dirinya. “Hai,” sapa Kalila.
“Kalila ya?” tanya gadis yang mengenakan pashmina berbahan katun. Hijabnya dibuat simple dengan hanya menutupi bagian leher kemudian menyampirkannya di salah satu bahu.
“Iya, gue Kalila. Lo Risma ya?”
Mahasiswi bernama Risma itu mengangguk pasti.
Kalila menarik sebuah kursi yang berada didekatnya, kemudian mendudukkan tubuhnya dikursi tersebut.
Sekarang semua kursi yang dibuat melingkar sudah penuh terisi. Ada enam mahasiswa serta mahasisiwi berjumlah tujuh orang. Tiga diantaranya ia sudah cukup kenal, karena satu fakultas. Kalila melihat ada Topan si mahasiswa keturunan Papua yang identik dengan rambut kriting serta gigi khas putihnya. Mahasiswa yang masih ada campuran Tionghoa bernama Fadhil Hantoro si cowok bermata sipit yang selalu mempesona sejagat fakultas ilmu budaya dan bahasa tersebut. Tidak kalah penting, ternyata ia juga satu kelompok dengan Neisya Ziu Simatupang, gadis keturunan Batak yang tidak kalah hits di fakultas. Kalila memerhatikan setiap wajah yang ada di sekitarnya. Selebihnya ia tidak tahu, hanya kenal Risma mahasiswi prodi hukum yang ia chat via aplikasi whatsapp begitu mendapat nama-nama teman satu kelompok dengannya.
Kalila duduk gelisah, menatap jam digital di hp miliknya yang menunjukkan angka sebelas. Ia tidak hentinya memainkan layar ponselnya, berharap waktu bisa dimundurkan lagi atau ia diberikan izin untuk pamit lebih dahulu. Mahasiswi yang mengenakan kaos bermotif stripe itu menghela napas pelan. Tak bisa dipungkiri, kelakuan Kalila memang cukup menganggu teman-temannya, terlebih mahasiswa bertubuh tegap dengan sedikit kumis yang menghiasi wajah lebarnya. Laki-laki itu bahkan sempat berdeham beberapa kali yang tidak perempuan berkuncir itu sadari.
“Kamu kalau nggak niat ada di kelompok ini silahkan pergi.” Wajah laki-laki bermata sayu itu mendekat ke arah Kalila, membuat gadis itu terperanjat.
Mahasiswi berdarah Betawi itu menatap heran dengan sebelah alis terangkat. “Apa maksud Anda?” tanyanya dengan nada keras.