Cuaca kembali cerah di hari senin pagi. Langit tampak berwarna biru dengan lembaran awan tipis bak kapas yang disebar secara terpisah-pisah. Sinar sang surya tidak malu-malu berbagi hangatnya ke permukaan bumi.
Kalila mendongak menatap indahnya celah kecil dari rimbunnya pohon besar yang menutupi sebagian sinar mentari. Ia menarik napas, membiarkan paru-parunya terisi oleh udara bersih di tempat itu. Ia tersenyum lalu kembali berjalan dengan langkah cepat setelah sejenak ia mengistirahatkan kakinya.
Di ujung sana rumah dengan tiang kokoh dan halaman sangat luas itu seakan menunggu kedatangannya. Meminta gadis itu untuk lebih cepat menghampiri bangunan tersebut. Sebelum memasuki teras rumah, Kalila menyapa Ayu yang tengah sibuk menyapu halaman sendirian. Gadis itu ikut masuk begitu Kalila menginjakkan kaki di teras. Kemudian perempuan dengan paras Jawa tersebut langsung keluar membawa gembor untuk menyiram tanaman.
“Rajin ya, Ayu.”
“Terimakasih. Kamu juga Kal. Masih pagi sudah belanja.”
Kalila tersenyum. “Yaudah gue masuk dulu ya. Mau buru-buru diolah,” balas Kalila sambil mengangkat dua kantong kresek besar yang ada digenggamannya.
Tanpa permisi gadis bertubuh kecil itu masuk, lurus melewati ruangan yang difungsikan sebagai tempat tidur para mahasiswa di sana. Mahasiswi berdarah Betawi itu berbelok ke arah kiri yang langsung tertuju dapur dan kamar mandi yang berada di sebelah tempat memasak tersebut.
Dengan gerakan cepat, ia membuka setiap plastik belanjaan dan mengeluarkan isi dalam kantung tersebut. Lima ranjang kecil berisi potongan ikan, dua ikat kangkung serta bawang dan cabe yang lumayan banyak.
Cewek tomboy dengan rambut dikuncir itu mulai mengolah bahan masakan satu persatu. Ia menyalakan kompor kemudian menggoreng ikan, memasukkan dan mengaduk bumbu dalam penggorengan. Semenit akhirnya masakan pertama berupa ikan tongkol balado telah tersaji di atas piring. Gadis itu hendak kembali memasak menu kedua, namun sebuah suara membuatnya terperanjat.
“Kal, kamu masak?” tanya suara berat dari arah pintu kamar mandi.
Ia menoleh, mendapati laki-laki bertubuh tegap tersebut mematung di ambang pintu. “Kak Khairil.” Entah kenapa suara Kalila terdengar lembut. “Gue kan seksi konsumsi. Jadi, tanggung jawab masakan ya gue.”
Khairil tersenyum, lalu terkekeh pelan yang dibalas dengan raut sebal dari Kalila.
“Bukan itu maksud saya.” Cowok itu tertawa. Membuat perempuan tomboy di hadapannya menghentikan kegiatannya.
“Terus?”
“Sejak kapan cewek tomboy bisa masak.” Lagi-lagi ia tertawa, spontan raut Kalila berubah jengkel dengan alis berkerut.
“Heh, jangan pernah remehin cewek tomboy ya. Cewek tomboy itu mandiri dan bisa segalanya!” Sebelah alis Kalila terangkat. Menyiratkan bahwa ia tidak suka dengan sikap laki-laki yang belum beranjak dari hadapannya.
Hening seketika. Khairil terkejut, ia menemukan uniknya gadis sederhana itu. Pemberani, mandiri, namun penuh kasih sayang.