Kalila menyentuh layar ponselnya, lalu memasukkan handphone berwarna silver tersebut ke saku celana. Gadis itu mematung di halaman rumah Bu Hajah. Wajahnya pucat. Ia menoleh ke kanan lalu ke kiri dengan ekspresi gelisah. Gadis itu kembali menarik benda kecil tersebut dari saku. Begitu membaca pesan di sana, ia menekuk mukanya. “Duh, kok di cancel sih.”
“Gimana Kalila, sudah sampai mana driver nya?” tanya Khairil yang tiba-tiba saja muncul di hadapannya sambil membawa sebungkus nasi uduk yang aromanya menyeruak ke hidung Kalila.
“Maaf ya kak, gara-gara gue jatoh kemarin, tugas masak jadi terbengkalai.” Perempuan tomboy itu meminta maaf. Ia semakin menekuk wajah, merasa bersalah.
“Santai aja Kal. Yang terpenting itu tangan kamu sembuh dulu.” Laki-laki itu mengembangkan senyum. Menatap gadis di hadapannya dengan tatapan hangatnya.
Sejenak Kalila seperti terbius enggan pergi dari mata sayu tersebut. Entah kenapa rasanya ia seperti dilindungi setiap berdekatan dengan mahasiswa yang memiliki postur tubuh besar itu.
“Ohiya Kal, drivernya sudah sampai mana?” suara berat Khairil kembali menyadarkan mahasiswi itu dari setitik rasa yang mempermainkan hatinya.
“Ah, oh ah iya,” ucap Kalila gugup setelah lepas dari tatapan Khairil. “Ini loh, nggak tahu kenapa tiba-tiba drivernya cancel.” Ia menghentakan kaki, sebagai ungkapan kekesalannya. “Mana sinyal gue hilang-hilangan.”
“Yaudah biar kakak aja ya yang antar Kalila pulang.”