Khairil beserta teman mahasiswa lainnya sudah bersiap. Pagi ini mereka hendak berkeliling desa. Menyusuri setiap jalan kampung sembari mengamati perkebunan warga. Fadhil, mahasiswa keturunan Chinese itu tidak ketinggalan antusias mendokumentasikan kegiatan keliling desa. Ia juga mengambil beberapa foto perkebunan warga.
“Kalau diperhatikan banyak kebun tapi nggak teratur ya.” Hari berpendapat.
Khairil mengangguk.
“Kebanyakan lahan kosong juga. Kelamaan malah jadi semak belukar gitu ya Ril,” ucap Hari dengan napas sedikit terengah-engah.
Fachri membetulkan letak kacamatanya. “Yah, namanya juga di desa.”
Memang mayoritas wilayah desa Pemagar merupakan lahan kosong milik warga yang memang tidak terurus. Tidak jarang semak belukar sampai meninggi, membuatnya tertutup. Ada memang beberapa yang berisi kumpulan pohon-pohon besar dan tinggi, serta diperkirakan usianya sudah mencapai puluhan tahun.
“Rata-rata warga banyak menjadikan lahan mereka sebagai perkebunan pisang.”
Hari si tubuh gempal mengangguk.
“Hari, lo berdiri dah di sebelah pohon pisang deh. Cocok,” ucap Fadhil disusul suara tertawanya.
Hari kesal. Spontan ia menarik buah pisang yang ada di sebelahnya, lalu melemparkannya kepada laki-laki bermata sipit itu.
Fadhil hanya terkekeh. Sementara yang lainnya menahan tawa dengan tingkah dua orang temannya tersebut.
“Sudah-sudah yuk kita pulang saja ya. Sudah lumayan agak panas nih.” Khairil melerai pertengkaran candaan itu dengan cara halus.
“Yaudah iya yuk balik.” Fadhil ikut putar balik. Lalu berjalan mensejajarkan dengan mahasiswa yang lain.
“Eh tunggu-tunggu,” ucap Hari yang masih tertinggal di belakang.
Khairil, Fadhil, Fachri, Rizki dan Topan spontan menengok. Mendapati Hari masih mematung di tempat tadi.
“Ngapain Har? Ayo cepetan.” Kali ini giliran Rizki yang berkomentar.
Laki-laki bertubuh besar itu menunduk, tangannya terulur mengambil buah pisang yang tadi ia tarik dari pohon. “Sayang ini.” Ia terkekeh.