“Kalila sudah sholat subuh?”
Gadis itu mendesis kesal ketika bola matanya menangkap sebuah pesan chat di layar. “Dasar ketua menyebalkan. Kemana saja dia? Hari gini dia baru balas chat.” Kalila mencemberutkan bibir. Ia menatap handphonenya jengkel. Tetapi jarinya tetap mengetik sesuatu pada layar.
“Sudah,” balasnya singkat.
Sementara di tempat lain Khairil mengerutkan dahi kemudian tersenyum samar. Ia menekan gambar telepon pada layar ponselnya. Tidak perlu menunggu lama, sang penerima panggilan di sana langsung bersuara.
Belum juga Khairil memberi salam, rupanya pemilik panggilan disana sudah lebih dahulu menjawab salam. Nada bicaranya pun cukup ketus, pertanda gadis itu sedang tidak dalam kondisi mood yang baik.
“Jangan jutek-jutek dong Kalila.” Ia terkekeh sebentar, kemudian menunggu lawan bicaranya itu bereaksi.
“Gimana nggak kesel, kakak sih gue chat dari kapan dibalas kapan.” Kalila menjulurkan lidah. Ia memukul-mukul guling yang ia pangku.
Khairil tertawa.
“Nggak usah ketawa!”
“Kamu segitu nungguinnya balasan chat dari aku, berarti chat aku penting banget ya untuk kamu.” Laki-laki yang kini dagunya tumbuh rambut halus itu tersenyum puas menggoda Kalila yang berada di rumahnya.
Pipi Kalila terasa panas. Entah kenapa hatinya bergetar. Namun ia mencoba mengendalikan perasaan grogi yang menyelimuti suasana batinnya. “Yaiya penting kak. Gue kan di rumah ini kemarin nggak tahu lanjutan rapat untuk acara hari ini.”
Khairil kecewa. Ia menghela napas. “Ehm iya juga ya. Jadi hari ini sosialisasi pertanian akan diadakan pukul 10 pagi Kal. Hari ini narasumbernya ada dua yaitu Ayu yang akan menjelaskan tentang cara menanam, pupuk, jenis tanaman. Dan warga juga akan diberikan motivasi untuk membuat hasil olahan tanaman menjadi bahan pangan yang lebih bervariasi.”
Gadis itu menyimak. Ia tersenyum bahagia. “Wah keren. Jam 10 ya kak. Oke tungguin ya.”
“Tungguin? Kamu mau kesini Kal?” Pemuda itu kaget mendengar jawaban gadis disana.
“Iya gue dateng.”