Suara bising kendaraan roda dua itu memecah kesunyian desa Pemagar. Bunyi yang rasanya seperti menusuk ke telinga itu akibat knalpot dari motor berwarna hijau tersebut yang sengaja didesign seperti itu. Rizki dengan cepat memutar gas pada motor dengan kencangnya lalu berbelok mengambil arah kanan setelah sebuah tikungan yang di depannya terdapat sebuah gang kecil dengan gapura bertuliskan gang rimbun. Motor yang memiliki body ramping namun kekar tersebut langsung memasuki halaman rumah Bu Hajah Rumana yang kini terlihat mulai banyak dedaunan meranggas.
Motor itu berhenti. Agak kesal, kali ini Ayu bergegas turun dari kendaraan roda dua tersebut. Perempuan itu menatap jengkel sang pengendara yang tidak lain adalah teman satu kelompoknya, Rizki.
“Ki, kamu tuh bawa kambing atau manusia sih!” Ayu menghela napas panjang kemudian membelakangi lelaki yang masih merapikan motor sebelum akhirnya menghilang di balik pintu.
Pagi menjelang siang. Udara di luar juga mulai terasa agak panas, apalagi sepertinya minggu ini di Bogor sudah memasuki musim kemarau. Satu persatu pepohonan tampak menggugurkan daunnya. Angin yang berhembus turut menerbangkan debu. Rasanya membuat badan tidak karuan.
Jarum jam menunjukkan pukul 10 lebih 15 menit. Ayu menghentakkan kaki dengan kesal. Ia menaruh kantong kresek berisi belanjaan sayur serta lauk tersebut di lantai. Membuat semua pasang mata para mahasiswi yang tengah menunggunya di dapur langsung tersentak.
“Dih, kenapa lo?” Spontan Sheila langsung meledek. Ia terkekeh karena heran, Ayu gadis yang lumayan kalem kini terlihat bagaikan kesurupan di siang bolong.
“Tau ah lagi kesel nih. Di luar panas banget.” Ia berkacak pinggang. “Udah ya, aku mandi dulu. Gerah. Pasar panas banget!” Ayu melengos pergi, hendak mengambil handuk di dalam kamar lalu kembali dengan perlengkapan mandinya. “Nih, gantian ya urusin,” ucap Ayu ketika berpas-pasan dengan Kalila yang baru saja keluar dari kamar mandi.
Kalila keluar, lalu Ayu yang masuk ke dalam. Bertukar posisi. Kalila keheranan mendengar perkataan yang keluar dari mulut gadis yang biasa terkenal pendiam tersebut. Ia langsung ikut nimbrung duduk di antara teman-temannya.
“Ayu kenapa ya?” tanya Kalila sembari ikut membersihkan sayuran.
“Gatau deh. Pulang dari pasar udah begitu,” jawab Risma yang sedang asyik mengulek cabai di cobek. Ia lalu membuburi sedikit garam pada sambal tersebut. “Mungkin dia kesal kali karena dia lagi dia lagi yang belanja,” sahut perempuan berwajah bule itu sekenanya.
Kalila tersentak. Ia menatap Sheila, Indah, Aini, serta Neisya yang sedang membantu mencuci beras di pojok dapur. “Maaf ya teman-teman gara-gara gue, kalian jadi susah begini.” Kalila menunduk lesu. Ia merasa bersalah kepada teman-temannya. Sudah jarang mengikuti kegiatan KKN ditambah sakit lagi. Bagaimana temannya tidak marah.
“Jangan begitu Kal. Kita nggak bisa nolak kalau Allah sudah kasih penyakit. Yang terpenting sekarang gimana caranya biar kamu cepat pulih.” Aini menjawab dengan bijak. Perempuan bertubuh mungil dengan tahi lalat kecil di tengah hidung itu memang paling ramah. Ia menoleh sekilas menatap Kalila kemudian kembali melanjutkan aktivitasnya mengupas kentang.
Kalila tersenyum. Hatinya terasa tenteram ternyata semua temannya tersebut selalu saja bisa mengerti keadaanya. Ia amat bersyukur karena telah diberikan keluarga baru yang amat begitu baik. Gadis itu pun memotek sayuran kangkung dengan gerakan agak pelan. Tangan kanannya memang belum normal bisa digunakan, tetapi setidaknya ia tidak memanjakan dirinya dengan sakit yang ia rasakan.