Kalila sudah bersiap dengan sepatu olahraganya. Ia meliukkan tubuhnya ke kanan kiri. Gadis itu menyampirkan handuk kecil di bagian leher. Seperti biasa rambut yang ia ikat terlihat bergoyang ketika gadis itu bergerak.
“Risma, ayo cepetan!” Ia berteriak dari teras rumah Bu Hajah Rumana. Gadis Betawi itu memang terkadang suka nyeleneh. “Yok udah siang nih!”
“Ayo.”
“Ayo.” Kalila berjalan pelan. tetapi baru sampai ujung jalan, keluar dari area halaman rumah besar itu, ia baru sadar. Ada yang tidak beres. Gadis bergaya tomboy itu menoleh, mendapati sosok laki-laki bertubuh tegap besar. Ia menggelengkan kepala. “Gue kira tadi Risma.”
Khairil terkekeh puas. Ia membasahi bibirnya yang tipis. Melempar senyum manis ke arah perempuan itu. “Emang kamu nggak bisa bedain apa suara laki-laki dan perempuan?”
Belum sempat membalas ucapan lelaki tersebut, Risma menghampiri. “Eh ada Kak Khairil juga.”
“Iya Risma. Yuk kita olahraga bareng.”
Ketiganya berjalan pelan sembari menikmati keindahan desa Pemagar di pagi hari. Udara yang sehat. Embun yang menempel di daun, beserta kicauan burung yang tiada henti bersahut-sahutan. Membiarkan udara bersih memasuki paru-paru. Memang nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan.
Risma berjalan sedikit lebih cepat. Sementara Khairil dan Kalila mensejajarkan diri. Khairil yang tinggi besar dengan Kalila yang bertubuh kecil dan sedikit pendek. Rasanya seperti tokoh yang ada di drakor. Sembari menikmati suasana alam yang menyejukkan hati, Khairil membuka obrolan di antara keduanya.
“Kal.”
“Ya,” sahutnya dengan pandangan lurus ke depan.
“Enak ya olahraga seperti ini. Kamu hobby olahraga ya? Kapan-kapan kita olahraga bareng lagi ya.”
Kalila tersenyum. “Nanti kita atur jadwal ya Kak.”
“Ohya, jangan siang-siang ya. Kita jam sepuluh mau datang ke Taman Baca kan.” Khairil kembali menerbitkan senyum hangat yang seketika hati Kalila berdesir hebat melihatnya.