Pukul tiga sore.
“Hei! Aku masuk, ya?” tanya Heidi saat tiba di rumah Dio.
Anak laki-laki itu hanya mengangguk.
“Nih, lihat! Aku sudah selesai membuat apa saja yang harus kita lakukan, dan ringkasan apa yang terjadi sebenarnya!” seru Heidi bangga.
“Oke, kita mulai pelan-pelan,” ujar Dio bersemangat.
Heidi pun memulai. “Jadi, pertama-tama sudah jelas, kita perlu mencari informasi sebanyak-banyaknya. Mungkin yang terbaik adalah mengunjungi museum tersebut dan menggali informasi dari apa yang kita lihat. Kita juga bisa mewawancarai para saksi atau petugas penjaga di sana.”
Dio kelihatan bingung. Ada yang aneh menurutnya.
“Di sore-sore begini, ke museum? Hiii … sebentar lagi gelap, lho. Belum tentu juga museumnya masih buka! Lagi pula, kan, pasti museumnya sementara ini ditutup untuk umum karena kasus pencurian itu,” Dio ketakutan sendiri sambil memeluk bantal sofa.
“Ih! Kamu, tuh, penakut banget! Tenang saja, pasti ada caranya ke sana ....”
Heidi tersenyum, lalu melanjutkan kalimatnya, “Ayo, kita cari tahu!”
Mereka berdua mengayuh sepeda menuju museum kota. Letaknya agak jauh dari rumah Dio.
“Lihat, kan! Apa kubilang! Masih ditutup …!” seru Dio kesal dan kecewa setibanya di sana.
Terlihat pengumuman yang menyatakan kalau museum kota ditutup untuk sementara sampai pemberitahuan lebih lanjut.
Di sana, terlihat beberapa polisi. Penjaga keamanan museum berjaga-jaga di depan gedung. Ada juga wartawan dan kameramen yang sedang meliput.
Heidi menarik lengan Dio sambil melotot.
“Sssttt … ikuti aku!” bisiknya lirih.
Mereka berjalan mengendap-endap ke belakang gedung museum. Halaman belakang sangat gelap karena rimbun pepohonan yang lebat.
“Waaah … sayang banget, pintu belakangnya dikunci …,” keluh Heidi.