Hai, semuanya! Perkenalkan, namaku Rara Amituzzahra. Panggil aku Rara saja. Aku mempunyai keluarga yang kusayangi, yaitu papa, mama, dan kakakku. Kakakku seorang laki-laki yang pintar, tetapi kadang-kadang menyebalkan. Dia bernama Kak Mirza. Ciri-cirinya, kulit putih, rambut berwarna cokelat, dan bola mata berwarna cokelat muda. Dia mirip orang bule. Dia bersekolah di Jakarta International School yang disingkat menjadi JIS, kelas XI atau SMA kelas II. Aku satu sekolah dengan kakakku.
Aku tinggal dan lahir di Jakarta. Saat ini, aku berumur sepuluh tahun dan duduk di bangku kelas V. Aku berambut hitam panjang, berkulit putih, dengan bola mata berwarna cokelat. Hobiku menggambar. Bagiku, menggambar bisa melatih kreativitas. Di sekolah, aku mempunyai banyak teman, salah satunya Laurenia Stevany Putri Anita Cateline. Aku memanggilnya Anita. Dia orang Inggris, tetapi masih keturunan Indonesia—karena kakeknya orang Indonesia—dan beragama Islam, sama sepertiku. Dia baik, ramah, sopan, lembut, pintar, dan cantik. Rambutnya panjang dan berwarna cokelat muda seperti warna bola matanya. Hidungnya mancung dan kulitnya putih. Dia pintar memainkan alat musik, seperti biola, cello, piano, dan seruling. Dia juga bisa menyanyi. Cita-citanya ingin menjadi penyanyi.
***
Minggu pagi.
“Bangun, Ra,” seseorang mengguncangkan tubuhku. Aku pun terbangun.
“Rara, jangan malas. Ayo, shalat Subuh!” Ternyata, dia adalah mama.
“Oh, sekarang jam berapa?” tanyaku sambil menggosok mataku.
“Jam lima,” jawab mama.
“Wah! Shalat Subuh dulu!” Aku segera mengambil wudhu dan shalat Subuh berjemaah bersama keluargaku. Tapi, selesai shalat Subuh, aku tidur lagi.
“Ra, bangun!” Lagi-lagi ada yang membangunkanku. Karena kesal, aku melanjutkan tidur saja. Dia, kan, sudah tahu aku mengantuk banget.
Tiba-tiba ... byuuurrr! Aku disiram!
“Uh, siapa, sih, yang melakukan ini?” tanyaku kesal.
“Kakak. Emangnya kenapa? Masalah?” kata Kak Mirza, lalu dia menjulurkan lidah.
“Akh! Kenapa, sih, jadi kakak jail banget. Itu namanya bukan kakak sejati,” omelku. Huh! Alhasil, tubuhku basah, bantal, selimut dan seprai juga ikut basah. Untunglah, setelah kuraba-raba, kasurnya tidak basah. Seprainya, kan, berbahan tebal.
“Biarin, sih!” Kak Mirza mentertawakanku.
Aku segera mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi. Selesai mandi, aku memakai baju santai dan mengeringkan rambutku dengan hair dryer, setelah itu menyisir rambutku yang panjang. Ternyata Kak Mirza sudah pergi. Selalu begitu. Sehabis melakukan kejailan kepadaku, dia langsung kabur begitu saja.
“Mbak Minah!” panggilku. Mbak Minah adalah pembantu di rumahku. “Tolong ganti seprai kasurku, ya,” pintaku sopan.
“Baik, Non. Tapi, kenapa seprai, bantal, dan selimutnya basah?” tanyanya lagi.
“Aku disiram sama Kak Mirza sewaktu tidur. Dia membangunkanku dengan cara seperti itu,” jelasku.
“Oh, baiklah. Saya akan mengganti seprainya.” Mbak Minah segera mengganti sepraiku dengan seprai yang lain.
Aku pun turun ke bawah untuk sarapan. Sebelumnya, aku melirik jam di dinding, sudah pukul tujuh. Terlihat, papa, mama, dan Kak Mirza sedang makan dengan santai.
“Selamat pagi, Sayang,” sapa mama.
“Selamat pagi,” jawabku ketus.
“Lho, kok kamu seperti itu? Tidak sopan!” omel mama.
“Justru Mama pantasnya mengomeli Kak Mirza! Bukan aku!” teriakku kesal.
“Memangnya Kak Mirza kenapa? Santai aja, dong,” mama menuntunku ke ruang makan.
“Jadi, begini. Aku, kan, lagi tidur. Tiba-tiba Kak Mirza menyiramiku dengan air. Alhasil, aku basah kuyup. Seprai, bantal, serta selimutku juga basah. Untunglah kasurku tidak basah karena seprainya berbahan tebal. Sekarang Mbak Minah sedang menggantinya,” jelasku.
“Mirza!” panggil mama.
“Apa?” tanya Kak Mirza santai.
“Kok kamu malah santai? Seharusnya kamu minta maaf. Tidak sepantasnya kamu membangunkan adikmu seperti itu. Kamu tidak kasihan kepada adikmu?” tanya mama.
“Aku, kan, cuma bercanda,” jawabnya.
“Tapi kamu harus minta maaf sekarang. Cepat!” Tampaknya, mama juga kesal, sedangkan papa hanya diam membaca koran.
“Iya, deh. Ra, Kakak minta maaf,” Kak Mirza menjulurkan tangannya kepadaku.
Aku menjabat tangannya. “Iya, aku maafkan,” kataku.
“Nah, sekarang kamu sarapan,” ajak mama.
“Iya, Ma,” aku menganggukkan kepala, lalu mulai sarapan dengan pancake yang diberi saus maple. Hidangan pencuci mulutnya adalah salad buah.
Setelah sarapan, aku pergi ke kamarku. Aku ingin mengecek apakah Mbak Minah sudah selesai mengganti sepraiku atau belum. Ternyata Mbak Minah sudah selesai. Huf! Lega rasanya melihat kasurku sudah rapi dan tidak basah lagi. Kasihan juga Kak Mirza tadi dimarahi oleh mama. Tapi, memang sepantasnya begitu. Ya sudahlah. Aku minta maaf saja kepada Kak Mirza.
Tok! Tok! Tok! Aku mengetuk pintu kamar Kak Mirza.
“Masuk,” sahutnya dari dalam.
“Ini aku, Rara.” Aku membuka pintu dan duduk di karpet. Kak Mirza sedang mengetik di komputer.
“Oh, Rara. Kenapa?” tanyanya ketus.
“Mmm ... sebenarnya aku mau minta maaf ke Kakak. Aku memang terlalu sensitif juga,” ucapku.
Kak Mirza masih terus mengetik.
“Ya, aku hanya mau minta maaf. Aku pergi dulu.” Aku sedang bersiap membuka pintu ketika Kak Mirza menghentikan langkahku.