Hari ini, ayah akan mengunjungi Escargot Lunar City di bulan! Walaupun aku harus mengembuskan napas panjang karena waktu tempuh dari Neuf Mars City ke Escargot Lunar City cukup lama, aku menerima ajakan itu dengan senang hati. Teman dekatku, Risma, tinggal di sana! Karena Risma terlambat pergi ke International Space Place, kantor sekaligus tempat penerbangan pesawat ulang-alik, akhirnya dia tidak bisa lagi tinggal di Mars yang padat.
Aku sudah bersiap-siap. Semua peralatan yang dapat menghiburku selama berbulan-bulan di dalam pesawat sudah kumasukkan ke dalam tas. Ayah juga sudah siap dengan alat-alat penelitiannya. Ibu membelai kepalaku yang tertutup jilbab seraya menasihatiku dan memastikan bahwa aku benar-benar siap terbang ke Escargot Lunar City di bulan.
Sebenarnya, aku kurang suka nama-nama tempat tinggal kami yang semuanya berbau bahasa Inggris. Tapi, apa boleh buat? Semua negara kini bercampur aduk dan terpisah dua antara Neuf Mars City dan Escargot Lunar City. Bahasa yang kami gunakan pun bahasa Inggris walaupun banyak orang yang memakai bahasa asal mereka sendiri ketika berbicara dengan orang lain. Aku sendiri lebih suka berbicara bahasa Indonesia meskipun ayah sudah melatih bahasa Inggrisku dari jauh-jauh hari, agar aku dapat berkomunikasi dengan teman-teman baru yang kemungkinan besar berbangsa barat.
Pesawat ulang-alik telah berdiri dengan gagah di depan rumahku. Rumah-rumah di Mars benar-benar diatur sehingga tidak bertumpuk-tumpuk dan membuat sesak. Jadi, jalan di depan rumahku benar-benar lapang, cukup untuk pesawat ulang-alik besar. Ibu melepas kepergianku sambil melambaikan tangan.
***
Glegar! Suara roket pesawat ulang-alik benar-benar keras dan mengagetkan. Api berwarna oranye kemerahan mengekor sepanjang arah perjalanan kami. Beberapa menit setelah kami terbang dan menembus atmosfer Mars yang makin menebal, roket terlepas dan melayang bersama asteroid.
Aku mengeluarkan buku New Life New Soul yang dikarang oleh Munadhia, seorang penulis cilik dari Indonesia! Aku kagum sekali padanya. Dia dapat menyelesaikan buku setebal 200 halaman dalam waktu singkat. Buku ini adalah buku pertama dalam Tetralogi Earth. Satu edisi buku ini tebalnya 200 halaman. Wow! Aku yakin, ini cukup untuk menemaniku selama perjalanan ke Escargot Lunar City. Aku mulai membaca halaman demi halaman, hingga aku terbawa ke alam mimpi ....
***
Ternyata, aku salah! Tiga edisi buku New Life New Soul, kubaca hanya dalam waktu tiga hari! Sementara, jarak ke bulan masih jauh dari letak pesawat kami. Kurang lebih sembilan bulan lagi untuk mencapai bulan. Berarti, aku harus menguap bosan selama 8 bulan 22 hari! Aku benar-benar salah! Lebih baik, aku tidak ikut. Di Escargot Lunar City pun hanya Risma yang kukenal dan akan kutemui. Ayah akan meneliti sesuatu yang ‘tak jelas’ menurutku selama berhari-hari. Lantas, apa yang akan kulakukan di sana?
Sekarang, balik lagi ke Neuf Mars City pun tidak mungkin. Aku menghampiri ayah yang sedang meneliti sebuah batu bersama teman-temannya. Aku mendengar sedikit perbincangan mereka, bahwa ada perang komet yang akan menimpa kami! Aku terperanjat mendengarnya. Jantungku berdebar kencang. Aku mencoba menempelkan telinga kembali ke pintu ruangan kerja ayah beserta ilmuwan lain.
Dari semua yang kudengar, perang komet akan terjadi dua jam lagi! Perang komet rutin terjadi setahun sekali, tepatnya pada pertengahan Januari antara pukul dua sampai dengan empat malam. Kulirik jam tangan biru dongkerku. Jarum jam menunjuk angka pukul dua belas tepat.
Aku harus bersiap-siap menerima kenyataan yang akan kuhadapi nanti. Mungkin saja, pesawat kami hancur dan menghilang. Atau, komet-komet akan menembus kaca pesawat kami, lalu membuat kebakaran di dalam pesawat.
Hah! Ini mimpi buruk! Tapi, aku mencoba berpikir positif. Mungkin komet tersebut membawa keuntungan bagi kami. Bisa saja komet tersebut datang dari belakang dan mendorong kami untuk sampai lebih cepat ke Escargot Lunar City! Pasti asyik!
Karena keasyikan berkhayal di depan pintu ruang penelitian para ilmuwan, aku tak sadar ayah membuka pintu dan membuatku terjatuh. Karena, aku sedang bersandar di situ. Ayah pun terkejut. Akhirnya, dia terpaksa bercerita kepadaku, daripada aku nanti benar-benar shock ketika perang komet itu datang.
“Aisha Sayang, maafkan Ayah, ya .... Ayah yang mengajak kamu ke sini. Ayah tidak sadar kalau tempat ini dapat mencelakakanmu. Ayah tidak menghitung hari terlebih dahulu. Ayah lupa bahwa pada hari ini, peristiwa alam yang rutin akan terjadi dan terulang kembali. Sekarang, lebih baik Aisha berdoa dan menyerahkan semuanya kepada Allah,” jelas ayah sambil mengusap kepalaku.
“Tenang saja, Yah. Ayah menawarkan, aku yang menerima. Sudah seharusnya, aku menerima risikonya,” sahutku dengan tersenyum.
Mr. Black mengangkat tubuhku dan menaruhku di sebuah tempat duduk besar. Dia memasangkan sabuk pengaman superkuat ke badanku, yang membuatku tidak bisa bernapas. Lalu, dia meninggalkanku.
“Mr. Black! I can’ t breath! Help me! ” aku berteriak-teriak.
Mr. Black kembali menghampiriku.