Aku kangen, Mak ..., desahku dalam hati.
Kupandangi kalender bergambar salah seorang calon legislatif (caleg) dari salah satu partai yang tertempel di dinding bambu rumahku. Di rumahku, ada beberapa kalender dengan gambar wajah-wajah caleg dari sejumlah partai yang berbeda. Kami mendapatkan kalender itu secara gratis saat masa kampanye pemilu legislatif lalu.
Belum ada sebulan sejak kepulangan emak terakhir ke rumah. Tapi rasanya, aku sudah kangen sekali dengan emak. Emak bekerja di rumah anak Bu Hartini yang tinggal di Surabaya sebagai pembantu rumah tangga.
Bu Hartini itu tetangga dekatku, sangat dekat malah. Bahkan, bangunan tempat tinggalku ini memang milik kami. Kalau boleh disebut bangunan, sih. Tapi sayang sekali, tanahnya masih me numpang. Maksudku, rumahku dibangun di atas tanah Bu Hartini. Tanah itu gratis! Kami di izinkan menanam beberapa sayuran di atas tanah itu. Beberapa sayuran yang ditanam antara lain: pepaya, bayam, terung, cabai, dan kemangi. Yang jelas, tanaman itu bisa kami nikmati bersama. Aku sendiri memanggil Bu Hartini dengan sebutan Mbah Har karena orangnya memang sudah tua.
Aku masih ingat kepulangan emak terakhir kali, yaitu sehari sebelum Pemilihan Presiden lalu.
Tujuan emak pulang adalah untuk mencontreng di Pemilu Pilpres keesokan harinya. Selain itu, emak sudah sangat kangen denganku dan kakak. Oh, iya, saat Pemilu Legislatif, emak tidak pulang untuk mencontreng. Alasannya adalah emak merasa bingung dengan pilihan calonnya. Lagi pula, ada perasaan tidak enak kepada majikan kalau emak sering izin pulang.
***
Hari itu hari Kamis, 8 Juli 2009. Pada pukul 08.00, aku dan emak sudah tiba di tanah kosong milik Pak RT, tempat aku dan teman-teman biasa bermain sepak bola yang saat itu telah disulap menjadi Tempat Pemungutan Suara atau TPS. Di depannya, ada papan tripleks yang ditempeli contoh surat suara dengan gambar wajah para calon presiden dan wakil presidennya. Saat melewati papan itu, tiba-tiba emak berhenti. Lalu, emak menatap lekat-lekat salah satu calon presiden sambil tersenyum.
"Mak, nanti mau contreng orang ini, ya?" tanyaku saat melihat cara emak menatap gambar calon presiden itu.
Wah, aku ini sok tahu, ya? Sssttt ... padahal pada waktu itu, aku tidak tahu pilihan emak yang sebenarnya. Kan, pemilihan itu harus rahasia.
Hehehe ....
Emak tidak menjawab pertanyaanku. Justru, emak cuma menoleh kepadaku sambil tersenyum manis. Di mataku, senyuman emak selalu manis dan hangat. Emak kemudian beralih menatap gambar calon lainnya. Lagi-lagi, emak tersenyum.
Masih ingat, kan, kalau senyum emakku itu manis sekali?
Aku menggoyang-goyangkan lengan emak, memohon perhatian.
"Emak mau pilih orang ini juga, ya ?" tanyaku penasaran.
Lagi-lagi, emak cuma menatapku sambil tersenyum.
"Mak, kenapa, sih, dari tadi memandangi gambar-gambar itu? Mak, bingung mau memilih siapa, kan?" kataku sok tahu.
Mak menggelengkan kepalanya. Aku menjadi bingung dengan sikap emak.
"Tidak, Le .... Mak cuma sedang membayangkan andai suatu hari nanti gambar wajah kamu yang terpampang di sini," kata emak dengan lembut.
Rupanya, perkataan emak itu bukan sekadar ucapan biasa. Tapi, itu sebuah pengharapan. Wah, emak bisa saja, ya? Aku jadi terlonjak kaget mendengarnya.
"Jadi calon presiden maksudnya, Mak?" tanyaku sambil mengarahkan pandangan kepada emak.
"Lho, iya, Le! Mak pikir-pikir kalau kelak gambar kamu yang terpasang di sini ...." Telunjuk tangan mak menunjuk kertas suara.
Aku melirik emak dan gambar calon presiden itu bergantian.
"Pasti, kamu tidak kalah keren dengan orang ini, walaupun dia berkumis. Apalagi, sama orang yang satu lagi, pasti anak Mak enggak kalah ganteng!" lanjut mak begitu percaya diri.
Aku tersenyum geli dengan pujian emak. Ya, iyalah ... aku, kan, anak laki-laki emak sendiri begitu, lho!
Sebagian orang juga sudah berduyun-duyun datang. Mereka langsung mengalihkan pandangannya kepada kami. Sebagian orang menggeleng-gelengkan kepalanya dan sebagian lagi tertawa kepada kami. Mungkin, mereka mengira kalau emakku ini sudah gila. Mana mungkin orang miskin seperti kami bisa jadi presiden? Mereka menganggap itu mustahil. Bahkan, mereka menegaskan kalau seharusnya ada keajaiban terlebih dahulu, baru bermimpi menjadi presiden. Tapi, kami tidak menanggapinya. So, what gitu, lho?!?
***
Tiba-tiba, di hidungku tercium bau gosong yang menyengat. Bau gosong itu juga yang memutuskan lamunanku tadi. Ternyata, aku keasyikan melamun hingga tidak menyadari ada sesuatu yang gosong.
Apa, ya? Bau apa ini, sih? tanyaku dalam hati.
Aku baru teringat sesuatu. Aku langsung berlari menuju sumber gosong tersebut.
"Ya ampun ... tadi, kan, aku lagi goreng tempe .... Kok, bisa lupa begini?" jeritku kesal saat mengetahui tempe yang aku goreng tadi gosong.
Segera, aku mengangkat tempe yang sudah gosong itu. Tempe gosong itu kutaruh di piring yang juga sudah ada satu centong nasinya.
Ya, biasanya kalau emak ada, pasti aku bisa makan enak! Menurutku, tempe itu paling enak.
Selain itu, tempe memang makanan asli dari Indonesia. Apalagi, tempe, kan, makanan murah dan bergizi. Hidup tempe! Kalau ada emak di rumah, pasti tempe ini tidak kesepian karena ada temannya, sambal korek atau sayur lodeh. Wah, sedapnya! Aku segera manghabiskan makananku.