Ini sudah yang berjuta-juta kalinya ibu menggedor pintu kamarku. Betapa pusingnya kepalaku, mendengar ketokan pintu dan ocehan ibu, walaupun kata-katanya lembut. Ibu, bisakah untuk tidak mengganggu tidur dan mimpi indahku? Mataku sayup-sayup terbuka, melirik jam, lalu mengangguk-angguk sendiri.
Masih pukul 7.50, belum waktunya untuk bangun. Tapi, ibu sudah mulai berceloteh. Setelah membuka mata, aku kembali tidur. Untung hari ini, ayah tidak ada karena sedang ke luar kota. Kalau ada ayah, aku tak berani tidur lewat pukul tujuh pagi. Soalnya gawat, marahnya enggak tanggung-tanggung!
“Nisa, bangun, Nak! Sudah siang!” pekik ibu, walaupun terdengar lembut.
“Ya, Buuu ... masih ngantuk.”
“Nisa, kamu itu sudah besar. Jangan seperti anak kecil lagi! Jangan tidur terus! Sudah siang, Nak. Bantu Ibu di dapur, Nisa. Kalau bukan kamu yang bantu, siapa lagi? Cuma kamu anak Ibu. Ayolah, Nisa!”
“Ibu, aku ingin tidur. Ini hari Minggu, waktunya santai-santai, setelah capek sekolah enam hari. Hanya kali ini saja, kan, Bu. Kalau hari sekolah, kan, aku enggak gini. Aku ingin menyambung mimpiku dulu, Bu,” ujarku sambil menarik kembali guling dan selimut untuk menyelimuti tubuhku yang sedikit kedinginan dengan suhu AC.
Lama-kelamaan, aku mulai bosan dengan ketukan pintu dan ocehan ibu yang sangat lembut, yang berbeda dengan omelan ayah yang mengerikan. Mimpiku buyar dan hancur. Sudahlah, aku kasihan melihat ibu sendirian membereskan rumah. Ini bukan akhir weekend yang menyenangkan.
Aku segera melipat selimut, menarik seprai yang sedikit kusut, menyusun bantal dan gulingku pada posisi di samping selimut. Lalu, aku masuk ke kamar mandi, sambil menarik handuk yang kujemur di jemuran handuk.
“Nisa, bangun, Nak!”
“Ibu, aku sudah bangun, mau mandi dulu! Ibu, kembalilah ke dapur, jangan berceloteh lagi!”
“Tidak boleh melawan ucapan orangtua seperti itu, Nak!”
“Ya, terserah Ibu saja. Aku pusing, Ibu terlalu banyak bicara!”
“Nisaaa ...!” Nada bicara ibu, naik. Ibu marah.
“Lalala ... lalala ....” Aku pura-pura bernyanyi, bersenandung.
***
Aku keluar kamar, menggunakan baju santai lengan panjang bergambar Hello Kitty warna biru dan celana semata kaki. Rambutku yang panjang, lurus, dan hitam tebal itu, kukucir kuda. Poniku, kuurai menutupi bagian pelipis kanan dengan jepit polkadot hijau.
Pintu kamar, kututup dan kukunci. Tentu saja kukunci. Jika tidak, ibu dan ayah bisa sembarang masuk dan menggeladah kamarku. Apalagi membuka buku-buku tertentu. Oh, itu gawat! Aku tinggal ke toko saja, ibu sangat pintar untuk mengendap-endap masuk. Dari situlah, aku mulai berhati-hati dengan ibu dan ayah terhadap kamarku.
“So ... sekarang, apa yang Ibu inginkan?”
“Jangan berintonasi seperti itu, Nisa!”
Ibu seperti kesal dengan sikapku selama ini. Tapi tenang, ibu tak pernah marah. Ibu sangat sabar. Aku sangat sayang kepadanya. Tapi, itu dia ... aku sering membuatnya marah. Sorry!
“Lalu seperti apa, Bu? Ibu ingin aku berkerja apa hari ini untuk Ibu?”
“Tolong belanja ke warung Bu Ninik. Daftar belanjaannya sudah ada di keranjang belanja. Plus uangnya juga. Cepat sedikit, Ibu mau masak!”
“Ya, yaaa .... Tapi tunggu, Kak Ani mana?”
Kak Ani adalah orang yang biasa membantu ibu setiap hari. Walaupun ibu tak berkerja di kantor, ibu tak sanggup mengurus rumah sendiri. Ya, karena ibu punya usaha kue kecil-kecilan yang lumayan sukses. Ibu membuatnya sendiri, lalu menjualnya ke toko-toko.