Bunga dan Billa tinggal di Panti An-Nasyir.
Mereka tak mempunyai bapak dan ibu. Mereka yatim piatu. Walaupun yatim piatu, mereka anak terpandai di Desa Karang Tengah. Bunga pernah meraih juara satu lomba melukis, menari, mengarang puisi, dan menghafal surah-surah pendek. Billa pernah mendapat juara satu lomba akting, membuat prakarya, dan mengarang surat. Mereka masih kelas enam, tapi sudah seperti anak SMP kelas dua.
***
Suatu hari sepulang sekolah, Bunga dan Billa pergi ke sebuah rumah.
“Bunga, kenapa kamu memilih tinggal di panti?” tanya Billa polos. Ia tak begitu senang di panti karena anak-anaknya tak sebaya de-13
ngannya. Hanya ada Bunga, Cahya dan Marsha, Dila, Detya, Amanda, dan Ditha.
“Bil, aku tahu perasaanmu. Tapi, seharusnya kamu bersyukur. Daripada kita tinggal di jalan, kalau mau makan harus meminta pada orang-orang,” kata Bunga polos. Ya, di antara mereka yang paling tua adalah Bunga. Jadi, ia yang mengatur.
“Hei! Jangan main jauh-jauh!” terdengar suara Bik Sum, pembantu di Panti An-Nasyir.
“Iya, Bik! Kami tak akan main jauh-jauh!” ujar Bunga keras-keras.
Billa bercerita lagi, “Tapi, aku ingin seperti yang lain. Aku ingin punya orangtua.”
“Billa, kita memang ditakdirkan tinggal di panti ini, Sayang,” jawab Bunga lembut.
“Bunga, bukan itu yang kumaksud. Maksudku, orangtua asuh.”
“M … maksudmu … diadopsi, gitu?” Bunga terbata-bata.
“Yup! Seratus!” katanya.
“Apa?”
“Kenapa terkejut?” Billa makin bingung.
“Kamu ingin diadopsi?!” kata Bunga terkejut.
“Ya, aku nggak ingin terus di sini. Aku ingin sekolah yang tinggi, mempunyai keluarga, dan menjadi orang sukses. Itu angan-anganku. Kalau itu terjadi, aku amat senang. Bisa saja aku melupakan semua orang yang kucintai. Dan semoga itu terjadi.”
“Ah, itukah … yang kamu mau?” tanya Bunga kecewa. Setelah itu, ia meninggalkan Billa sendirian dengan perasaan yang amat sedih.
***
Kamar Bunga
“Jadi, Billa lebih memilih kehidupan yang menyenangkan daripada persahabatan? Aku baru tahu Billa amat menginginkan kehidupan yang menyenangkan dan setelah mempunyai orangtua asuh, ia akan melupakanku, anak-anak, dan pengasuhnya di panti? Oh, aku tak percaya!”
“Assalamu ‘alaikum,” tiba-tiba terdengar suara di balik pintu.
“Siapa, ya?”
“Annisa.”
“Oh, Annisa, mari masuk,” kata Bunga sambil mengajak Annisa masuk.
“Iya!”
“Annisa ada perlu apa sama Kakak?” tanya Bunga manis.
***
“Annisa disuruh Bunda Arma minta kerudung pada Kakak karena kerudung Annisa banyak yang rusak,” kata anak itu ragu.
“Oh, boleh! Ayo, ke kamar Kakak!” Bunga mempersilakan.
Annisa masuk ke kamar Bunga. Ia takjub melihat kamar Bunga. Wow, kakak anak panti, tapi rajin juga ya, pikirnya.
“Eh, kenapa Annisa? Apa ada yang tidak menyenangkan di kamar Kakak?” tanya Bunga bingung melihat Annisa bengong.
“Ah, nggak, tapi kamar Kakak rapi sekali.”
“Wah, Kakak jadi malu dibilang begitu,” kata Bunga tersipu. “Eh, ini kerudungnya. Maaf kalau warnanya nggak disukai Annisa.”
“Ah, Annisa suka, kok! Assalamu ‘alaikum!
Makasih ya, Kak!” kata Annisa senang sambil membawa kerudung biru muda ke kamarnya.
Annisa pergi.
Anak yang manis, pikir Bunga.
“Assalamu ‘alaikum,” terdengar suara.
“Masuk!”
“Bunga, kamu dipanggil Bunda Arma.”
16
“Ada apa memangnya, ya?”
“Nggak tahu. Kata bunda, kamu dipanggil.”
“Di mana?”
“Biasa, di ruang keluarga.”
“Makasih, ya, udah diberi tahu.”
“He-eh.”
Bunga pergi ke ruang tengah. Di sana, ia melihat Bunda Arma.
“Bunda, ada apa?”
“Bunga, Annisa masuk rumah sakit. Tadi ia terjatuh ketika Bunda sedang mengepel. Ia tak melihat dengan baik. Annisa berjalan cepat-cepat ke kamarnya, tapi ia terpeleset, dan ….”
“Annisa gegar otak,” potong Rafli sedih. Ia adalah kakak Annisa.
“Sudah Raf, jangan sedih …,” hibur Detya, saudara Rafli.