Aku berdiri di depan rumah megah itu. Sebentar lagi mungkin akan jadi mantan rumahku. Aku diam. Beku. Masih bingung apakah keputusan yang akan kuambil adalah keputusan terbaik untuk masa depanku. Aku tak tahu siapa yang bersalah. Aku atau mereka? Tetapi, sungguh aku tak merasa bersalah? Merekalah yang telah membuatku merasa tak punya hidup. Hidup yang sebenarnya.
Ransel itu berat. Berwarna merah pekat dan tak tampak bagus sama sekali, malah kusam. Aku terus membiarkan ransel itu kubawa selama perjalanan yang tak menentu ini. Kulihat kulitku diterpa sinar matahari sore yang berwarna oranye, yang sebentar lagi hangus ditelan waktu yang terus bergulir ke arah malam.
“Saatnya menerima kenyataan. Aku, kan, sudah membuat keputusan, jadi aku harus terima apa pun konsekuensinya dan risikonya!” Katakata itu keluar begitu saja dari mulut kecilku. Bibirku bergetar terkena embusan angin yang berubah dingin. Aku menengadah, melihat pemandangan langit malam sambil menepi di dekat warung yang tak kukenal.
Umurku sebelas tahun dan masih kelas lima. Namaku, Awallia Gityani atau panggil saja aku Gitya. Tahu kenapa pembuka cerita itu tidak terlalu menyenangkan?
Kedua orangtuaku raib entah ke mana sejak beberapa bulan lalu. Bahkan ketika putri mereka satu-satunya ini tak dapat menghubungi handphone mereka karena mereka mempunyai kebiasaan aneh; memiliki kartu nomor hand-phone terlalu banyak. Jadi, bagaimana aku tahu harus menghubungi nomor yang mana? Dan kemungkinan besar, mereka telah membeli nomor baru.
Ditemani bibi baruku yang sifatnya tak terlalu menyenangkan, aku menjalani hari-hari dipenuhi rasa penasaran. Ke mana sebenarnya mereka pergi? Bahkan, bibi pun terlalu cuek dan tak memberi kabar tentang orangtuaku, ketika aku bertanya kepadanya, dia sering tak menjawab dan mengacuhkan. Orangtuaku memang haus pekerjaan, sepertinya!
Jadi, secara diam-diam aku mengemasi barang-barangku dan kutenteng ransel besar itu ke luar rumah. Pergi. Uh, jangan ditiru, ya!
Kursi warung yang kududuki ini membuat tulang-tulangku sakit. Aku bangkit meninggalkan warung tersebut, menyusuri jalan raya yang masih sangat ramai sampai aku tiba di sebuah tempat terpencil. Ada sebuah rumah di sana. Rumah yang amat kecil. Aku melihat seorang anak lelaki yang lebih kecil dariku keluar dari rumah itu bersama beberapa anak lainnya. Di antara mereka ada beberapa anak perempuan.
Mereka berbisik-bisik, lalu salah satunya berteriak, “Hei, kamu bukan pemulung asli, kan?” Anak itu berkulit gelap. Entah karena efek malam atau tidak, aku harus mengerjap beberapa kali sampai benar-benar melihatnya.