Mataku otomatis terbuka saat sinar matahari langsung menyergap masuk. Beberapa detik kemudian, aku bergegas duduk sambil mengerjap-erjapkan mata, melihat sekeliling. Sepertinya kemarin, aku ketiduran dan di mana sekarang mereka?
Lantai putih penuh debu itu hangat sehangat sorot mata mama yang mampu kuingat dan aku bangkit meninggalkan “lantai penyebab nostalgia” itu untuk berlari ke luar rumah. Di sana semua berkumpul, Sarah berada di depan mereka semua, menatap dengan raut muka penuh harap akan mendapat banyak penghasilan. Dia berteriakteriak kecil di depan para anggotanya.
Ternyata, Sarah sedang membagi lokasi memulung para anggotanya. Pasti mereka akan berpencar, pikirku. Seperti sedang menunggangi kuda, pikiranku berkelana melewati berbagai bagian kehidupan. Lalu, aku menghampiri Sarah dan Tangguh.
“Sarah, Tangguh, kalian mau memulung, ya?”
Sarah dan Tangguh serempak menengok ke asal suara. Hei, siapa dia? Tunggu, itu bukan suaraku. Tetapi, suara anak perempuan yang tampaknya berumur lebih tua setahun saja denganku dan dia baru saja tiba beberapa detik.
“Iya, Delia, seperti biasa. Kenapa kamu enggak mulung duluan?” tanya Tangguh.
“Enggak ada teman. Enggak semangat buat kerja, hehehe ...,” dia tersenyum lembut. “Itu anggota baru kalian? Wah, cantik, ya. Cantiknya bisa ngalahin aku.”
Aku hanya tersenyum.
“Sebenarnya dia bukan anggota, Del. Dia pergi dari rumahnya. Kalau kamu mau tahu kenapa, langsung tanya aja sama orangnya. Yuk, deh, aku dan lainnya mau berangkat. Kamu jagain dia saja ya, Del?” usul Sarah. Delia mengangguk antusias.
Semua meninggalkan kami berdua di depan rumah mungil kusam itu. Dia mendekatiku, helaan napasnya terdengar jelas karena suasana hening. “Halo, aku Delia. Kamu?”