Esok harinya.
Uh, kenapa bisa bangun kesiangan lagi, sih .... Untung, aku sudah shalat Subuh. Kalau tidak? Wah, gawat! Aku segera bergegas berdandan dan mengenakan baju sekolah.
“Mamaaa! Aku berangkat, ya! Assalamu ‘alaikum!” seruku sambil buru-buru mengenakan jilbab dan menyandang tas.
“Sip! Wa ‘alaikum salam!” jawab mama dari sofa ruang tengah. Aku berlari sekencang mungkin menuju sekolah.
“Assalamu ‘alaikum ... hosh ... hosh ...!” salamku dengan napas terengah-engah sesampainya aku di kelas. Fyuh ... untung bel masuk belum berbunyi!
“Wa ‘alaikum salam,” jawab Nabila. “Hahaha ... ternyata kamu kembali menjadi Ratu Bangun Kesiangan lagi, Fas!” lanjutnya meledek.
“Uh, kamu ini! Teman terlambat bukannya dinasihati, malah diejek,” gerutuku pura-pura kesal.
“Iya, deh, Yang Mulia Ratu Fasya ...,” ujar Nabila sambil membungkukkan badannya.
“Hahaha ...,” kami berdua pun tertawa bersama.
Tiba-tiba, Bu Vina memasuki kelas. Ooow, ternyata bel sudah berbunyi!
“Assalamu ‘alaikum!” Bu Vina mengucap salam.
“Wa ‘alaikum salam!” jawab semua anak serempak.
“Sudah buat kelompok untuk Happy Camp?” tanya Bu Vina.
Semua murid di kelas menggeleng.
“Siapa saja yang ikut Happy Camp?” tanya Bu Vina lagi.
Hanya enam belas anak yang mengangkat tangannya, delapan anak perempuan, termasuk aku dan Nabila, dan delapan anak laki-laki.
Wow, pas sekali! Teman-teman lain yang tidak ikut, mungkin karena mereka tidak mau atau tidak diizinkan oleh orangtuanya.
“Oke, delapan orang jadi satu kelompok, ya. Masing-masing kelompok yang ikut Happy Camp, silakan berdiskusi! Yang tidak ikut Happy Camp, kerjakan tugas di papan tulis,” tegas Bu Vina.
Aku melirik tugas di papan tulis. Tuliskan sepuluh kalimat yang tidak efektif dan ubahlah menjadi kalimat efektif!
Aku dan Nabila ikut berkumpul di kerumunan anak perempuan yang sedang berdiskusi itu. Aku menatap semuanya satu per satu. Di kelompok ini ada Nabila, Ovie, Raissa, Shifa, Chesa, Izzy, Lisha, dan aku!
“Jadi, kita sudah sekelompok, nih,” ucap Izzy. “Sekarang, kita tentukan siapa yang menjadi ketua kelompoknya!” lanjut Izzy sok bossy.
Aku melirik Izzy sekilas. Dari raut wajahnya, aku bisa membaca jelas apa yang ada dalam pikirannya. Dia pasti berpikir, sudah pasti aku yang jadi ketua kelompoknya. Mana mungkin tidak?
“Sudah pasti kamu, Zy!” sahut Ovie malas.
Mendengar ucapan Ovie, Izzy membusungkan dada.
“Sudah pasti aku, kan? Jadi, aku yang jadi ketua kelompok, ya!” seru Izzy.
“Menurutku, sih, lebih cocok Nabila yang jadi ketua kelompok,” kata Raissa tiba-tiba.
“Eh? Heee ...,” sahut Nabila sambil menggaruk kepalanya yang tidak ditutupi jilbab. “Aku? Hmmm ... menurutku ... Fasya saja!” usul Nabila.
“Aku?” tanyaku tidak percaya.
“Ya! Tidak ada salahnya, kan, kita mencoba ketua yang baru?” timpal Shifa. “Aku setuju!” lanjutnya.
“Aku juga!” sahut Chesa.
“Aku setuju banget!” kata Lisha pelan. Lisha memang pendiaaam ... sekali.
“Me, too!” susul Raissa.
“Ya, aku juga bosan jadi ketua kelompok,” gumam Izzy dengan nada sombong. Ovie tersenyum kecil mendengar ucapan Izzy.
“Aku, sih, terserah kalian saja,” sahutku.
“Selamat, ya, Fas,” ucap Ovie riang. Dia membisikkan sesuatu kepadaku, “Aku bosan banget kalau Izzy yang menjadi ketua kelompok.”