Di pagi yang cerah, seorang gadis tampak menyendiri. Lia namanya. Dia merasa dirinya tidak secerah pagi ini. Bahkan, menurutnya, bakal semakin tidak cerah untuk hari-hari berikutnya. Dia selalu menanyakan hal ini kepada dirinya sendiri.
“Permisi,” sapa seorang tetangga.
“e,...#2@%=)...0eer....#%ee...,” jawab Lia. Tetangga itu bingung dengan jawaban Lia.
“Iya, ada apa?” Bu Elli, ibu Lia, segera membuka pintu.
“Ini Bu, ada titipan bingkisan dari tetangga sebelah. Katanya, dia enggak sempat ngasih ke Ibu. Makanya saya dimintai tolong untuk menyampaikannya.” Tetangga itu menyodorkan sebuah bingkisan kepada Bu Elli.
“Terima kasih,” kata Bu Elli.
“Oh ya, Bu, bolehkah saya menanyakan sesuatu?” tanya si tetangga.
“Iya, boleh, silakan,” jawab Bu Elli.
“Kenapa, sih, Bu, anak Ibu tidak menjawab saat saya sapa? Maaf, ya, Bu.”
“Iya, anak saya itu enggak bisa bicara. Dia juga tak bisa mendengar. Penglihatannya pun mulai tidak normal. Tidak awas gitu,” jelas Bu Elli.
“Oh, maaf, Bu, saya enggak tahu. Saya baru kali ini melihatnya,” kata tetangga itu merasa tak enak.
“Iya, enggak apa-apa. Memang dia jarang keluar rumah, kok!” Bu Elli tersenyum.
Tetangga itu pun berpamitan. Sementara Lia duduk seorang diri di ayunan. Dia hanya berdiam diri, termenung.
Andai aku normal pasti aku sangat senang. Tapi semua telah berubah. Aku tidak bisa bicara, mendengar, bahkan hampir buta, batin Lia.
Tak lama, Bu Elli mengajak Lia untuk masuk ke rumah. Tapi, Lia menolak. Dia masih ingin menghirup udara segar, sambil merenungi nasibnya sendirian.
“Kenapa Lia tidak mau masuk?” tanya Bu Elli kepada Mbok Wati, pembantu yang biasa menemani dan melayani Lia.