Kehidupanku berubah sejak ayah tiada. Ayahku dulu adalah seorang diplomat, sedangkan ibuku hanya ibu rumah tangga. Aku selalu mendapatkan apa yang kuinginkan, bahkan barang elektronik sekali pun. Setiap akhir pekan, kami sekeluarga selalu pergi ke restoran. Aku pun boleh membeli mainan baru setiap hari.
Tetapi, keadaan telah berubah. Ibuku berusaha sebisa mungkin menghidupi aku dan adikku, Seno. Kini, ibuku bekerja sebagai tukang cuci dan bergaji sangat kecil. Hanya sekitar delapan ribu sehari. Aku mempunyai keinginan, bisa membuat kehidupan keluargaku menjadi lebih baik. Tetapi, apa yang dapat kulakukan?
“Bu, Caca berangkat ke sekolah dulu, ya,” aku berpamitan kepada ibu.
“Iya, Nak. Jadi anak pintar dan baik, ya,” kata ibu sambil mengecup pipiku dan Seno.
Aku berbalik lalu mengayuh sepeda menuju sekolah.
Bel istirahat berbunyi. Sebagian banyak anak-anak berhamburan keluar kelas. Sedangkan aku tetap di kelas karena tidak mempunyai uang jajan. Teman sebangkuku, Dian, mengeluarkan lunch box biru dari tasnya. Isi lunch box-nya adalah tiga buah cupcake. Tiba-tiba, sebuah ide terlintas dalam benakku.
“Diana, cupcake ini kamu yang bikin sendiri?” tanyaku tanpa melepaskan pandangan dari tiga cupcake cantik itu.
Diana mengangguk. “Iya. Memangnya kenapa?”
“Ummm ... boleh aku belajar membuat cupcake di rumahmu?” tanyaku ragu.
“Boleh aja. Tapi kenapa enggak belajar di rumahmu aja? Aku, kan, bisa datang ke sana,” ujar Diana. Gadis itu kembali mengunyah cupcake-nya.
“Bikin cupcake perlu oven, kan? Nah, masalahnya, di rumahku enggak ada oven,” terangku. “Nanti, bahan-bahan untuk bikin cupcake-nya aku yang beli, deh!”
Diana tampak berpikir. “Boleh, deh. Nanti sore kamu ke rumahku, ya!”
Mataku langsung berbinar. “Benar, nih?”
Diana mengangguk sambil tersenyum.
“Makasih, Diana!” aku memeluk Diana saking senangnya!
Bel tanda pulang sekolah berbunyi. Aku berlari menuju kantin. Seno menungguku di sana. Adikku ini masih kelas empat, jadi dia pulang lebih awal. Karena harus pulang dengan berboncengan di sepedaku, dia biasa menungguku di kantin.
“Wah, Kakak, ada apa? Semangat banget,” katanya sambil memperhatikanku dari kaki sampai kepala.
“Iya, nih, Seno, Kakak senang banget!” seruku sambil duduk di sebelah Seno. “Seno mau ikut Kakak pergi ke rumah Kak Diana nanti sore?”
Seno tampak bingung. “Buat apa, Kak?”
Aku menceritakan rencanaku kepada Seno.
“Wah, hebat! Ibu pasti senang. Ya, sudah, deh. Seno ikut ke rumah Kak Diana nanti sore!” seru Seno.
Aku menyapu pandanganku. Di sana, di pojok kantin, ada satu kios yang sudah lama tutup—tidak ada yang berjualan. Bagus!
“Seno, yuk, kita pulang. Jangan bilang-bilang ke ibu, ya, bahwa kita mau bikin cupcake. Biar jadi kejutan!”
Seno mengangguk senang.