Sore ini, angin bertiup sepoi-sepoi, sangat cocok untuk bermain layangan, pikirku. Aku segera mengambil layanganku yang tergeletak di samping meja belajar.
“Mama, Lisa pergi dulu, ya! Mau main layangan!” ucapku seraya memakai sandal jepit.
“Iya! Hati-hati, ya!” seru mama.
“Oke, Ma!”
Oh, iya ... namaku Khalisa Anastasya. Kalian bisa memanggilku Lisa. Hobiku bermain layangan. Setiap sore, aku pergi ke lapangan di depan rumah untuk bermain layangan. Ya, ini sudah menjadi rutinitasku. Setiap sore, lapangan itu pasti dipenuhi banyak orang yang bermain layangan. Lapangan itu memang sangat luas.
“Hei, Lisa! Sini!” panggil Ghea. Dia adalah sahabatku. Rumahnya hanya beda lima rumah denganku. Aku suka bermain layangan dengan Ghea.
“Ah! Kamu sudah menunggu lama, ya?”
“Enggak, kok! Aku juga baru datang,” ucapnya sambil tersenyum.
“Wah! Anginnya pas sekali!” seruku. Biasanya, aku bermain sampai waktu maghrib.
Wuuush ... angin kencang menerbangkan layanganku. Rambut panjangku yang terurai terkadang menghalangi pandanganku.
“Lari ke sini, Lis!” ajak Ghea yang ternyata sudah berada jauh dariku.
“Iyaaa .... Aku segera menyusulmuuu ....”
Tak terasa matahari mulai terbenam. Aku segera pulang ke rumah. Hosh ... hosh ... aku berlari kencang sekali. Karena jika terlambat, pasti aku akan dimarahi mama.
“Mama, Lisa pulang!” seruku. Aku buru-buru pergi ke kamar mandi untuk cuci muka.
Blubup ... blubup ....
Hah! Kok, ada suara gelembung, sih? pikirku.
“Ah!” seru seseorang. Suaranya keciiil ... sekali. Tapi aku masih bisa mendengarnya.
“SUARA SIAPA ITU!?” teriakku.
“Aku!” seorang liliput muncul dari lubang pembuangan air.
“HAH!” aku kaget. “Aaa ...!” aku berlari keluar kamar mandi.
“Hei, tenang! Ini hanya aku, Lily Liliput. Kamu siapa?” seorang liliput muncul di ambang pintu kamar mandi. Rambutnya panjang, dia memakai dress putih yang tidak bisa dibilang putih lagi karena terciprat air kotor dari lubang pembuangan air.
“Liliput? Mimpi apa aku semalam? Namaku Lisa ....”
“Aku ini baik, kok. Aku berasal dari Plutoengage, planet yang dihuni oleh para liliput,” jelas Lily.
“Lalu kenapa kamu bisa ada di sini?” aku masih penasaran.
“Dulu, di Plutoengage, semua liliput sepertiku—sangat suka terbang menggunakan layang-layang. Tetapi sekarang sudah tidak lagi.” Lily menunduk sedih. “Evella, seorang raksasa jahat, telah mencairkan kite ball—sebuah bola mesin yang bisa membuat layangan terbang secara otomatis. Jika kite ball mencair, layang-layang di Plutoengage musnah tak bersisa.”
“Wah, sayang sekali! Aku suka bermain layangan, lho!”
“Ah, aku beruntung!” seru Lily. “Queen Ellava, kembaran Evella yang baik dan pemimpin Plutoengage mengutusku untuk mencari seseorang dari planet ini yang suka bermain layangan. Karena hanya manusia yang hobi bermain layanganlah yang bisa membekukan kembali kite ball. Aku bingung harus ke mana, aku jalan saja. Saat aku sedang mencari, aku terpeleset masuk ke sebuah lubang dan keluar di tempat ini,” Lily terlihat ngos-ngosan menjelaskannya.
“Oooh ... begitu .... Jadi, apa yang harus aku lakukan untuk membantu Plutoengage?”
“Kamu harus menerbangkan aku dengan layanganmu setinggi mungkin. Tetapi sebelum menerbangkannya, kamu harus menempelkan serbuk ini,” Lily menunjukkan sebotol serbuk mini berwarna-warni. “Untuk menempelkannya tidak boleh pakai lem biasa, tetapi memakai es krim yang dibekukan selama dua puluh empat jam lalu dihancurkan dengan alat penghancur ajaib ini!” Lily menunjukkan sebuah alat penghancur yang mirip sekali dengan palu.
“Ternyata ribet juga, ya! Tapi tak apalah, demi membantu planetmu, aku bersedia,” ucapku. “Jadi, kita mulai sekarang?”
“Sebentar! Badanku bau!” serunya.
“Oh, iya! Sebentar ....” Aku mengambil baskom kecil yang kuisi air sabun. Kubiarkan liliput itu berendam sebentar agar terlihat lebih fresh.
Setelah selesai mandi, Lily berkata, “Ayo, mulai!”
Aku segera mengambil es krim cokelat yang masih tersimpan di kulkas. Kumakan setengahnya, lalu setengahnya lagi kubekukan kembali. Sementara Lily hanya menunggu di meja makan.
“Karena sekarang hari sudah malam, kita tidur, yuk! Kamu bisa tidur di kamarku.”